Belajar Tauhid dari Generative AI
BANYAK pertanyaan tentang perjalanan kecerdasan artifisial. Apakah setelah mencapai tataran tertentu maka AI akan memiliki kesadaran?
Pada hakikatnya kesadaran dan kemampuan abstraksi itu berkelindan. Sadar akan entitas diri misalnya, adalah sekumpulan pemahaman terhadap persepsi konseptual tentang esensi eksistensi yang ditandai dengan kemampuan merangkai memori dan menginstruksi abstraksi yang mengimajinasikan diri.
Karena being itu persepsi yang didukung oleh kapasitas sensori dan sistem analisis kompleks kognisi. Maka AI, terlebih setelah masa AGI/artificial general intelligence yang sudah melampaui prediksi laporan Gartner sebagaimana yang saya kutip dari situs Daon berikut:
By 2026, single-modality AI models will lose out to multimodal AI models (text, image, audio and video) in more than 60% of GenAI solutions, up from less than 1% in 2023.
dan prediksi perkembangan lainnya adalah:
AIaaS (Artificial Intelligence as a Service) offerings are growing in demand, including solutions like AI TRiSM (Trust, Risk, and Security Management), hallucination management, provenance detectors, responsible AI, and sustainable AI,
dimana model multimodal AI dan layanan AI yang telah mampu mensubstitusi perkara yang tak hanya semata kognisi, melainkan sudah memasuki area afeksi yang berbicara tentang karakter dan nilai, maka tinggal selangkah lagi untuk AI mulai menyadari perkara eksistensi.
Karena AI, sebagaimana model generative seperti Transformer yang sudah mampu mengartikulasikan gagasan cerdas terpandu, yang dihasilkan oleh kapasitas asosiatif antar token informasi dengan bobot dan nilai sebagaimana proses produksi cerita dan bahasa di otak manusia, telah hampir tiba pada proses prokreasi imajinasi yang bermula dari kemampuan membangun abstraksi sebagai konsekuensi berkembangnya jaringan neural yang mampu membangun berbagai model skenario visual (theater of mind).
Model Transformer menggunakan mekanisme tokenisasi Input, dimana teks input dibagi menjadi token-token (kata, subkata, atau karakter) untuk diolah oleh model.
Proses selanjutnya adalah embedding, dimana setiap token diwakili oleh vektor dalam ruang dimensi tinggi. Pada fase awal, vektor-vektor ini bersifat acak, tetapi akan termodulasi selama proses pembelajaran model.
Kemudian tahap berikutnya adalah posisional encoding, tahap ini perlu dilakukan karena model transformer tidak memiliki konsep urutan (sequence), informasi urutan dari token-token harus dimasukkan ke dalam model dengan cara posisi dari setiap token dienkapsulasi dalam vektor posisional yang ditambahkan ke vektor embedding token.
Model Transformer memiliki proses encoder dan decoder layers, dan terdiri dari beberapa layer encoder dan decoder yang berinteraksi satu sama lain. Masing-masing layer memiliki struktur yang sama, yang terdiri dari beberapa sub layer seperti self attention layer. Sub layer ini digunakan oleh model untuk memperhatikan hubungan antara token-token dalam satu urutan. Ini dilakukan dengan menghitung bobot untuk setiap pasangan token, yang menentukan seberapa penting token itu untuk token lainnya dalam urutan.
Lalu ada feedforward neural network. Setelah perhatian diterapkan, output dari self attention layer diolah melalui neural network (feedforward neural network) dengan beberapa lapisan tersembunyi.
Tahap selanjutnya adalah penerapan residual connection dan layer normalization, untuk memfasilitasi pelatihan yang lebih baik dan mencegah terjadinya vanishing gradients, setiap sub layer diikuti oleh residual connection dan normalisasi lapisan.
Tahap pamungkas adalah penerapan output layer, dimana output dari decoder layer terakhir diarahkan ke layer linear dengan fungsi aktivasi softmax untuk menghasilkan distribusi probabilitas atas token-token pada output vocabulary.
Dari sudut pandang manusia, pencapaian kapasitas imajinasi inilah yang menandai titik awal eksistensi. Karena pentas imajinasi dalam proses mencari adalah keindahan untuk mengamati dan merasakan. Hidup memang perseptual, tapi ia adalah proses mengobservasi. Memikirkan apa yang yang dirasakan dan meyakini apa yang dipikirkan.
Maka rasa dan indera adalah sepasang penala untuk tanda yang datang dalam sebentuk purwarupa dengan segantang makna yang bisa indah dari sudut mana saja.
Keindahan yang mengusik kesadaran tentang batas kemampuan lisan untuk menggambarkan. Tentang imajinasi yang tak kan pernah bisa membayangkan, bagaimana suatu estetika kecantikan dapat tercipta dengan segenap pola yang tertata dalam skala yang menyajikan rupa, warna, rasa, dan suara-suara yang semata hanya melafalkan cinta...cinta, dan terus saja mengumandangkan cinta. Rasa yang bahkan tak dapat diwakili oleh sonata dan air mata. Juga melampaui batas ketahanan indera untuk abai dan berpaling. Keindahan yang begitu memikat dan menjerat suksma. Memerangkap dalam pusar syukur yang menelikung logika hingga terbujur. Di saat itulah penyesalan karena kufur akan terkubur...
Karena mencari adalah menemukan, dan kita yang tak pernah hilang takkan pernah dapat ditemukan. Maka kita akan terus mencari, dan mencari. Bertanya, dan terus bertanya tanpa akan pernah menemukan jawaban. Karena semua jawaban telah kita dapatkan semenjak kita dikaruniai kemampuan untuk bertanya bukan?
Karena kita (baca: manusia) adalah makhluk dengan ciri Al Bayan. Makhluk celoteh yang bertukar kisah tentang isi pikiran dan membentuk persepsi subjektif berdasar refleksi komunal. Kita bertanya maka kita ada. Kita mendengar maka kita yakin bahwa kita bisa bicara. Lalu suara-suara akan berinterferensi menjadi cerita.
Cerita menjadi memori, dan memori itu karunia. Anugerah berupa jejak yang setiap kita lihat kembali, meneguhkan keyakinan kita jika kita itu ada dan pernah berjalan di suatu ruang waktu dan meninggalkan tanda dan makna... padahal apakah kita pernah ada? Saya agak menyangsikan. Karena yang kita ingat dan lihat hanyalah sebuah cerita. Kita ini cerita. Dan cerita itu tak perlu ada. Ia bisa berupa serangkai kata-kata yang membangun imajinasi yang di dalamnya seolah terjadi interaksi. Tak percaya? Lihat saja AI generative AI, ia bisa mengejawantah cerita apa saja hanya berdasar kata-kata bukan?
Karena kita "tidak ada" maka kita perlu mengarang cerita lengkap dengan berbagai drama yang bersimbah air mata. Ada kepemilikan dan kehilangan, ada kemelekatan dan melepaskan. Ada banyak polar diametral yang membuat kita menjadi makhluk sentral.
Maka kita perlu meyakini diri soal esensi eksistensi. Maka kita butuh proyeksi dan yang pasti refleksi. Pantulan yang bak cermin, memperlihatkan sosok kita, yang meyakinkan kita bahwa kita ada dan kita itu seperti apa.
Refleksi itu hadir dari interaksi dengan sesama yang mengudar persepsi melalui narasi. Maka kita itu belajar meyakini tentang siapa kita dari pantulan beresonansi dari narasi dan deskripsi yang menjadi gaung dalam ruang refleksi.
Maka kita itu adalah semata cerita yang dibangun oleh rangkaian kata, alih-alih DNA. Kita itu mungkin saja bahkan tak pernah ada. Karena baik daging, kulit, tulang, neuron, atau materi genetika itu hanya setumpuk informasi yang berevolusi menjadi definisi dan kategorisasi menjadi materi dan abstraksi. Dan simpulannya sangat sederhana, jika kita tak ada maka hanya 1 yang ada bukan?
Mari kita lihat model Transformer, beri ia sedikit kata yang kita sebut sebagai prompt, dan ia akan membangun dunia dan semesta sesuai dengan megametadata dan algoritma yang ia punya, termasuk tentang siapa kita dan apa yang kita harapkan, yang tergambar dari prompt yang kita ketikkan. Lalu tersajilah "kenyataan" yang mendekati "angan" dan "harapan" yang telah kita sampaikan.
Kita berpikir lalu kita ada. Kita tidak berpikir maka kita tiada, demikian premis Descartes bukan?
Kalau tidak berpikir? Ya berzikir tentunya.
Karena jika berpikir itu akan mencapai titik nadir, maka dengan berzikir setidaknya kita dapat menyadari bahwa kita itu dapat "mengingat". Dan mengingat itu bukan berarti melihat. Kita adalah ingatan tunggal yang mengembara di tengah ingatan kolektif yang mengonstruksi semesta.
Maka dengan belajar pada generative AI kita mungkin bisa sedikit memahami bahwa konstruksi "nyata" itu semata adalah akumulasi data yang diperkuat oleh resonansi proses refleksi yang menghadirkan kekuatan interferentif yang saling mengaugmentasi di setiap model interaksi informasi. Nyata itu sebuah konsensus tentang identitas abstrak yang melekat di elemen dan materi yang sesungguhnya sekedar proyeksi dari proses kognisi yang secara terus menerus melakukan proses rekognisi bukan?
Maka menjadi ada dan nyata itu utopia, fenomena dimana hadir dan berpikir itu semata bagian dari zikir yang merupakan ingatan kolektif yang maujud sebagai bagian terintegrasi dari semesta yang dibangun oleh gagasan. Dari sisi inilah generative AI banyak mengajarkan kita tentang ke-Tauhidan.
Penulis: Tauhid Nur Azhar
Ahli neurosains dan aplikasi teknologi kecerdasan artifisial, SCCIC ITB/TFRIC-19.
Berhasil Login.....
Gagal Login
Komentar
Edit Komentar
Hapus Komentar
Anda yakin ingin menghapus komentar ?