Brasil Umumkan Indonesia Resmi Menjadi Anggota Baru BRICS, Pengamat Nilai Positif

07 Jan 2025

IVOOX.id – Brasil, sebagai pemegang presidensi BRICS tahun ini, Senin (6/1/2025), mengumumkan bahwa Indonesia telah resmi menjadi anggota organisasi internasional tersebut. Dalam pernyataan persnya, Pemerintah Brasil menyambut dan memberi selamat kepada Indonesia sebagai anggota terbaru BRICS.

"Indonesia, yang memiliki populasi dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, memiliki kesamaan pandangan dengan anggota-anggota BRICS lainnya terkait dukungan atas reformasi institusi global dan kontribusi positif untuk menguatkan kerja sama antara negara-negara Selatan Global," demikian pernyataan tersebut, dikutip dari Antara, Selasa (7/1/2025).

Brasil pun memandang Indonesia telah mendukung isu-isu yang menjadi prioritas selama presidensi Brasil di BRICS dari 1 Januari hingga 31 Desember 2025 tersebut.

Bergabungnya Indonesia ke BRICS pertama kalinya disepakati oleh anggota-anggota BRICS dalam KTT di Johannesburg, Afrika Selatan, pada Agustus 2023.

Namun, karena Indonesia melaksanakan pemilihan umum pada Februari 2024, Pemerintah RI secara resmi menyatakan niat bergabung ke dalam BRICS hanya setelah pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto terbentuk.

Anggota-anggota BRICS menguasai 40 persen populasi dunia dan 35 persen produk domestik bruto (PDB) global sehingga menjadikannya pemain yang penting di kancah internasional.

Berdiri pada 2009 dengan anggota asli Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan itu, BRICS kini memiliki semakin banyak anggota usai 13 negara baru ditetapkan sebagai negara mitra pada Oktober 2024.

Selain Indonesia, BRICS juga menyambut tiga negara Asia Tenggara lainnya sebagai anggota baru, yaitu Malaysia, Vietnam, dan Thailand.

Menanggapinya, Indonesia menyambut baik status keanggotaan penuhnya di BRICS, sebagaimana diumumkan Brasil sebagai Ketua BRICS 2025, dan berkomitmen untuk berkontribusi secara aktif dalam agenda organisasi tersebut ke depannya.

“Sebagai negara dengan perekonomian yang terus tumbuh dan beragam, Indonesia berkomitmen untuk berkontribusi secara aktif dalam agenda BRICS, termasuk mendorong ketahanan ekonomi, kerja sama teknologi, dan pembangunan berkelanjutan,” kata Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI dalam pernyataan persnya di Jakarta, Selasa (7/1/2025), dikutip dari Antara.

Indonesia berkomitmen untuk terus berperan melalui BRICS dalam ikut mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim, ketahanan pangan, dan kesehatan masyarakat, serta mewujudkan tatanan global yang lebih inklusif dan berkeadilan.

Indonesia juga berdedikasi bulat untuk “bekerja dengan seluruh anggota BRICS dan pihak lainnya demi dunia yang lebih adil, damai, dan sejahtera”.

Menurut Kemlu RI, bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS merupakan cerminan atas semakin meningkatnya peran aktif RI di kancah global serta momentum untuk meningkatkan kerja sama multilateral.

“Indonesia memandang keanggotaannya di BRICS ini sebagai langkah strategis untuk meningkatkan kolaborasi dan kerja sama dengan negara-negara berkembang lainnya berdasarkan prinsip kesetaraan, saling menghormati, dan pembangunan yang berkelanjutan,” sebut Kemlu RI.

BRICS merupakan wadah penting bagi Indonesia untuk menguatkan kerja sama Selatan-Selatan serta memastikan suara dan aspirasi negara-negara Selatan Global terdengar dan terwakili dalam proses pengambilan keputusan di tingkat global, kata Kemlu RI.

Terkait dengan penerimaan Indonesia sebagai anggota penuh BRICS itu, Kemlu RI menyampaikan apresiasi kepada Rusia sebagai Ketua BRICS 2024 dan Brasil sebagai Ketua BRICS 2025.

“Indonesia siap berpartisipasi secara konstruktif dalam berbagai inisiatif BRICS demi kepentingan masyarakat global,” kata Kemlu RI, sembari menegaskan kembali bahwa partisipasi RI di BRICS adalah sesuai dengan amanat UUD 1945.

Pengamat Nilai Positif

Lembaga riset ekonomi Center of Economics and Law Studies (Celios) menyebutkan bergabungnya Indonesia sebagai anggota penuh BRICS memberikan keuntungan baru khususnya dalam perluasan pasar.

Direktur Ekonomi Celios Nailul Huda mengatakan selama ini ekspor Indonesia masih bergantung dengan pasar-pasar tradisional seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Keanggotaan baru ini, menjadikan Indonesia bisa terlepas dari AS dan Eropa dan membuka peluang pasar baru.

"Bergabung dengan BRICS, akan memberikan keuntungan bagi Indonesia untuk bisa lepas dari pasar tradisional seperti AS dan Eropa. Eropa pun sebenarnya sudah mulai 'rese' dengan kebijakan ekspor Indonesia di mana sering terlibat perselisihan dalam hal perdagangan global," ujar Nailul dikutip dari Antara, Selasa (7/1/2025).

Ia melanjutkan, Eropa saat ini mulai menjegal perdagangan luar negeri Indonesia, salah satunya adalah melalui hambatan European Deforestation Regulation (EUDR) terhadap komoditas kelapa sawit.

Presiden Prabowo Subianto kemudian menunjukkan keberpihakan terhadap petani sawit dan mempertimbangkan untuk mencari pasar lain di luar wilayah Eropa.

"Prabowo pun menunjukkan keberpihakannya kepada sawit lokal, saya rasa itu menjadi pertimbangan juga untuk mencari pasar alternatif," katanya.

Nailul menjelaskan, pada dasarnya gerakan diplomasi Indonesia merupakan gerakan non blok, di mana tidak terafiliasi ke blok mana pun, baik BRICS atau OECD. Namun, pilihan koalisi politik dan ekonomi bisa mendorong pertumbuhan ekonomi ke depan.

Data menunjukkan, proporsi ekonomi negara BRICS mengalami peningkatan yang cukup tajam. Pada 1990, proporsi ekonomi negara BRICS hanya 15,66 persen, sedangkan pada 2022, proporsinya mencapai 32 persen.

Anggota BRICS yang berdiri sejak 2009 tidak hanya terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. BRICS kini memiliki semakin banyak anggota, usai 13 negara baru ditetapkan sebagai negara mitra pada Oktober 2024.

"Negara Timur Tengah sudah mulai masuk ke koalisi BRICS, hal ini sejalan dengan keinginan pemerintah untuk masuk ke pasar Timur Tengah. Jadi, sebenarnya keuntungan masuk BRICS cukup besar," ucap Nailul.

Namun demikian, Nailul menyebut bahwa koalisi BRICS juga memunculkan risiko bentrokan kepentingan dengan Amerika Serikat, salah satunya terkait dengan fasilitas perdagangan dengan AS yang bisa dicabut atau bahkan dikurangi.

Menurutnya, akan ada potensi perang dagang antara Amerika Serikat dan China ketika Donald Trump sudah memegang kendali sebagai Presiden AS.

"Ada potensi ekonomi global akan melambat dan ber-impact pada negara koalisi. Memang saya rasa pilihan masuk ke BRICS lebih rasional ke depan walaupun juga ada risikonya dengan negara-negara OECD dan negara blok barat," katanya.

Sementara, ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai bahwa bergabungnya Indonesia ke dalam kelompok BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) merupakan langkah strategis yang dapat meningkatkan posisi tawar Indonesia di kancah global.

Khususnya, lanjut dia, di mata OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development).

Hal ini diungkapkan Wijayanto menanggapi pengumuman resmi dari Brasil, sebagai Ketua BRICS 2025, mengenai peresmian keanggotaan penuh Indonesia dalam organisasi tersebut.

“Saya rasa keputusan menjadi anggota BRICS adalah tepat, sepanjang kita juga tetap mendorong proses membership OECD. Indonesia adalah kekuatan ekonomi potensial di dunia ini, potensi itu harus di unlock dengan lebih berani mengambil sikap. Keputusan bergabung BRICS justru akan meningkatkan posisi tawar Indonesia di mata OECD yang selama ini seolah kita diposisikan tidak setara dengan negara lain,” ujar Wijayanto dikutip dari Antara, Selasa (7/1/2025).

Terkait agenda dedolarisasi yang menjadi salah satu agenda BRICS, Wijayanto menilai bahwa fenomena ini akan terjadi secara alami seiring menurunnya dominasi ekonomi Amerika Serikat (AS).

Peran ekonomi AS di dunia, meskipun akan tetap penting, cenderung menurun akibat munculnya kekuatan baru seperti China, India, Rusia, Brasil, Meksiko, atau bahkan Indonesia.

Menurut Wijayanto, tren dedolarisasi akan lebih banyak terjadi dalam konteks perdagangan antaranggota BRICS, seperti yang telah diterapkan China dan Rusia dengan menggunakan mata uang lokal untuk 90 persen transaksi ekspor-impor mereka.

Namun, dirinya skeptis terhadap kemungkinan terciptanya mata uang alternatif global atau sistem transfer pengganti SWIFT dalam waktu dekat.

“Indonesia perlu mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS dengan lebih banyak menggunakan mata uang lokal untuk ekspor-impor dengan negara lain. Kendatipun demikian, kita tidak perlu menjadikan dedolarisasi sebagai gerakan ekonomi-politik, ini akan kontraproduktif dan diluar kepentingan kita,” jelas Wijayanto.

Lebih lanjut, dalam pandangan Wijayanto, menjadi bagian dari BRICS juga memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk ikut menentukan arah dan cetak biru organisasi tersebut ke depan.

Ia menekankan pentingnya Tanah Air untuk memanfaatkan keanggotaan ini untuk membuka peluang kerja sama di berbagai bidang, seperti teknologi, ketahanan pangan, dan perubahan iklim.

Meskipun demikian, ia juga menyoroti potensi dampak keterpilihan kembali Donald Trump sebagai Presiden AS pada dinamika organisasi-organisasi multilateral.

“Keterpilihan Trump justru akan membuat organisasi-organisasi yang dibidani oleh negara Barat menjadi kurang efektif, karena Trump lebih menyukai pendekatan unilateral, maksimal bilateral. Komitmen multilateral termasuk COP, WTO, OECD, bahkan NATO cenderung ia nafikan,” terangnya.

Dengan demikian, Wijayanto menilai bahwa keanggotaan Indonesia di BRICS, meski agak terlambat, merupakan langkah strategis untuk memperluas pengaruh dan memperkuat posisi Indonesia di kancah internasional.

Komentar

Berhasil Login.....

Gagal Login

Back to Top

Komentar berhasil di tambah

Komentar berhasil di Edit

Komentar berhasil di Dihapus

Anda Harus Login

Tidak Boleh Kosong