Geopark
IVOOX.id – Pada suatu sore di tepian Danau Toba, di teras layang hotel Sopotoba Samosir tepatnya, Opung Simarmata, sahabat keluarga kami, yang juga seorang tetua Batak bercerita tentang Samosir, pulau cantik tempat kami ngopi sore ini, yang lahir dari sebuah dongeng ajaib.
Dongeng tersebut mengisahkan seorang pemuda bernama Toba menangkap ikan mas ajaib yang menjelma perempuan cantik. Mereka menikah, dengan syarat sang pemuda takkan pernah menyebut asal-usulnya sebagai ikan.
Namun, suatu hari, sumpah itu terlanggar. Sang istri dan anak mereka lenyap, memicu banjir dahsyat yang membentuk danau terbesar di Sumatra. Mitos ini, yang terpatri dalam tradisi lisan Batak, ternyata menyimpan jejak bencana geologis nyata: letusan supervulkano Toba 74.000 tahun silam.
Pada 74.000 tahun lalu, di luar kemampuan kita yang hidup hari ini untuk membayangkan, bumi berguncang hebat. Gunung Toba Purba meletus dengan kekuatan setara dengan 2.800 megaton, 13.000 kali lebih dahsyat dari bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima.
Abu vulkaniknya menyelimuti atmosfer, memicu "musim dingin vulkanik" selama 6-10 tahun di belahan bumi utara. DNA manusia modern menunjukkan bukti keberadaan "populasi manusia leher botol", dimana hanya sekitar 3.000-10.000 individu saja yang dapat selamat dari dampak bencana katastropik dahsyat itu.
Namun, di balik malapetaka ini, lahirlah keajaiban: sebuah kaldera raksasa seluas 1.130 km², terdalam ke-9 di dunia (505 meter), dengan Pulau Samosir sebagai "jantung" yang terangkat oleh tekanan magma residual. Samosir, pulau di atas pulau yang terbentuk dari proses resurgent doming, dimana daratan seluas 647 km² ini terus terangkat 2-3 mm/tahun oleh aktivitas tektonik.
Jejak geologis letusan katastropik gunung Toba Purna juga dapat terlihat dari formasi dan struktur batuan ignimbrit (abu yang memadat) di Parapat yang mencapai ketebalan 600 meter, sementara endapan tuf Toba ditemukan hingga India tengah.
Bukti geotermal hidup dari gunung tua yang kini seolah tertidur, dapat disaksikan di mata air panas Pangururan di Samosir barat (suhu 40-60°C). Sumber air panas itu adalah bukti sistem magma yang masih aktif, meski berada dalam level aktivitas paling minimal.
Sejalan dengan penetapan status Kaldera Toba sebagai kawasan geopark oleh UNESCO, sebagaimana juga kawasan Geopark Ciletuh-Palabuhanratu yang telah ditetapkan sebagai UNESCO Global Geopark (UGG) pada 17 April 2018, dimana gelar ini diberikan karena adanya keanekaragaman alam, serta keunikan, dan kekayaan geologi di kawasan tersebut. Maka ada pilar panduan yang telah ditetapkan agar penetapan status global geopark relevan dengan kegiatan kongkret di dalamnya.
Sejalan dengan pilar pertama UNESCO, konservasi dalam geopark bukan sekadar melindungi situs geologi berupa struktur batuan belaka, akan tetapi harus dapat merawat interaksi kompleks antara geodiversitas, biodiversitas, dan budaya.
Contoh nyata adalah Ciletuh yang dapat dibayangkan sebagai "Jurassic Park" nya Indonesia. Kawasan Ciletuh menyimpan batuan metamorf dan sedimen dari zaman Kapur hingga Tersier, yang menjadi bukti tumbukan lempeng Eurasia dan Indo-Australia. Namun, konservasi di sini tak hanya berfokus pada struktur batuannya saja. Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar pun terlibat aktif memelihara tradisi leuweung larangan (hutan larangan) yang melindungi sumber mata air dan satwa endemik seperti owa jawa.
Pada tahun 2020, kolaborasi antara pemerintah lokal dan LSM berhasil merehabilitasi 50 hektar lahan kritis dengan menanam pohon endemik seperti rasamala, sekaligus mengurangi erosi yang mengancam situs geologi.
Sementara di geopark Hong Kong, batuan vulkanik berusia 140 juta tahun dikelola dengan sistem zonasi: zona inti (no-go area), zona pendidikan (wisata terbatas), dan zona budaya. Pendekatan ini memastikan kerusakan minimal pada formasi batuan kolom heksagonal yang ikonik, dan area khusus dimana interaksi antara alam dan manusia dalam sebentuk model budaya relasi dapat terwadahi.
Pilar kedua terkait edukasi dapat kita pelajari dari berbagai kasus di beberapa geopark yang berhasil menjadikan wilayahnya sebagai kampus geologi. Geopark Belitong salah satunya, geopark yang diakui UNESCO pada 2021 ini memadukan produk wisata warisan geologi dalam model "Granit Tour" yang diperkaya dengan banyak konten budaya masyarakat Melayu-Belitung.
Program "Sekolah Geopark" di Desa Lenggang juga berhasil mengajarkan anak-anak tentang nilai batuan dan mineral, termasuk timah yang banyak terdapat di sana, melalui permainan tradisional seperti *gasing*. Wisatawan pun diajak menyusuri Geo-Heritage Trail di Batu Baginda, sambil mendengar legenda lokal tentang batu berbentuk kapal yang diyakini jelmaan putri kerajaan. Hasilnya? Sejak 2019, lebih dari 10.000 siswa telah mengikuti program edukasi ini, dan 75% masyarakat setempat mampu menjelaskan konsep geodiversitas secara sederhana.
Keberadaan pusat informasi Geopark Belitong yang dilengkapi dengan media dan wahana belajar tentang ilmu kebumian dan keanekaragaman hayati yang terdapat di kawasan geopark, telah terbukti dapat menjadi metoda edukasi publik yang cukup efektif. Terlebih jika media informasi dan belajar yang tersedia telah dapat mengakomodasi potensi kemajuan teknologi seperti teknik imersif, augmented reality, virtual reality, dan mix reality yang juga dapat disertai gamifikasi. Mungkin pengelola dapat melakukan proses benchmark ke Arsip Daerah Yogyakarta yang museumnya dioramanya telah dibangun dengan sangat inovatif.
Sementara implementasi pilar ketiga geopark sesuai panduan UNESCO adalah Sustainability Development, atawa pembangunan yang berkesinambungan. Aspek ekonomi dan kesejahteraan tak pelak merupakan salah satu aspek yang mendorong terjadinya eksploitasi lingkungan yang dapat berdampak pada degradasi daya dukung dan terganggunya keseimbangan ekosistem. Maka upaya inovatif dalam menyeimbangkan kepentingan dari segenap pemangku kepentingan di suatu kawasan geopark menjadi hal yang krusial.
Dulu, banyak petani di Ciletuh bergantung pada pertanian monokultur yang rentan mengakibatkan erosi dan menurunkan kualitas lingkungan, termasuk berpotensi memantik bencana seperti bencana metro dan geohidrologi. Sejak 2016, melalui program pendampingan, 120 keluarga beralih ke agroforestri kopi organik yang disisipkan dengan tanaman pelindung dari spesies kayu manis. Hasilnya? Pendapatan meningkat 40%, dan bersama dengan itu ada sekitar 30 homestay berwawasan lingkungan berdiri di sekitar kawasan, dengan konsep ekowisata holistik.
Contoh di atas adalah kegiatan ekonomi riil yang berkelindan dengan upaya konservasi yang tertata dan didukung dengan fungsi edukasi yang berkelas. Model pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan yang berhasil juga dapat dilihat pada koperasi geowisata di Satun UNESCO Global Geopark Thailand. Dimana masyarakat Satun membentuk koperasi pariwisata yang mengelola tambang batu kapur bekas menjadi geoproduk seperti sabun dari fosil algae. Pendapatan didistribusikan adil: 60% untuk anggota, 30% untuk konservasi, 10% untuk dana darurat.Model yang menarik untuk dipelajari dan diuji coba bukan?
Di sisi lain kawasan geopark dengan struktur batuannya yang komplek seperti formasi Melange di Karangsambung Gombong misalnya, juga merupakan kawasan yang punya potensi menjadi situs-situs arkeologi tertentu dengan berbagai jenis artefaknya.
Geopark memang tidak hanya tentang batuan purba atau bentang alam spektakuler, tetapi juga tentang kisah manusia yang terukir di dalamnya. Aspek arkeologi menjadi jembatan antara geologi dan peradaban, mengungkap bagaimana manusia beradaptasi, memanfaatkan, dan menghormati lanskap yang terbentuk dari proses geologis.
Geopark acapkali menjadi "perpustakaan terbuka" yang menyimpan bukti evolusi manusia dan kehidupannya. Contoh terbaik adalah Situs Sangiran (Indonesia), meski bukan termasuk kategori kawasan geopark, Situs Manusia Purba Sangiran telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO pada tanggal 5 Desember 1996. Situs Sangiran menyimpan 50% fosil Homo erectus dunia, termasuk alat batu seperti kapak perimbas yang terbuat dari bahan vulkanik. Fosil-fosil ini menunjukkan bagaimana manusia purba memanfaatkan sumber daya geologi (seperti batu andesit) untuk bertahan hidup di lingkungan vulkanik Jawa Tengah.
Lapisan tanah di Sangiran juga telah merekam fluktuasi iklim selama 2 juta tahun lebih, yang mempengaruhi migrasi dan teknologi manusia purba. Kondisi serupa dapat diamati di Zhoukoudian (China), yang dikenal sebagai situs Manusia Peking (Homo erectus pekinensis) yang hidup 750.000 tahun lalu, dan menggunakan gua kapur sebagai tempat tinggal dan memanfaatkan kuarsa untuk alat bantu.
Keterhubungan antara aspek geologi dan arkeologi di kawasan khusus seperti geopark juga dapat diamati pada temuan-temuan seperti lukisan babi kutil berusia 45.000 tahun di Leang Tedongnge yang digambar menggunakan pigmen oker (hematit) dari batuan sedimen. Temuan ini mengubah peta migrasi manusia modern di Asia Tenggara., sekaligus memberikan gambaran geologis wilayah terkait dari masa ke masa.
Ada pula lukisan gua prasejarah di Villar del Humo yang menggunakan bahan cat dari mangan dan oksida besi yang bersumber dari batuan setempat. Guanya sendiri terletak di kawasan Alto Tajo Spanyol. Sementara di Geopark Stonehammer (Kanada) terdapat petroglif suku Passamaquoddy yang menggambarkan paus dan ikan, diukir di batuan sedimen Zaman Es.
Berangkat dari pemahaman tentang 3 pilar global geopark UNESCO yang telah kita elaborasi di atas, maka fungsi konservasi suatu kawasan geopark dapat sekaligus mengintegrasikan fungsi restorasi lingkungan, edukasi, penelitian geologi dan arkeologi serta antropologi, dan juga tentu saja dapat menjadi pemantik lahirnya ekonomi sirkuler yang bersifat "hijau" dan tidak bersifat destruktif atau eksploitatif pada ekosistemnya.
Penulis: Tauhid Nur Azhar
Ahli neurosains dan aplikasi teknologi kecerdasan artifisial, SCCIC ITB/TFRIC-19
Berhasil Login.....
Gagal Login
Komentar
Edit Komentar
Hapus Komentar
Anda yakin ingin menghapus komentar ?