Hari Buku Sedunia: Membaca untuk Menyembuhkan
IVOOX.id - Dunia memeringati 23 April sebagai Hari Buku Sedunia. Bukan sekadar selebrasi literasi, hari tersebut menjadi pengingat bahwa di balik lembaran-lembaran kertas, tersembunyi potensi penyembuhan, pelindung dari penyakit, dan bahkan peta untuk masa depan kesehatan umat manusia.
Ketika membaca, kita bukan sekadar membuka jendela ke dunia luar, melainkan juga membentuk ulang struktur otak, memperkuat sistem imun, dan menciptakan kondisi mental yang kondusif untuk penyembuhan fisik.
Literasi, dalam konteks kesehatan, bukan hanya soal bisa membaca brosur rumah sakit atau petunjuk pemakaian obat.
Literasi kesehatan adalah kemampuan memahami, mengevaluasi, dan menggunakan informasi kesehatan secara efektif untuk membuat keputusan yang benar mengenai kesejahteraan diri sendiri dan orang lain.
Di era pascapandemi dan disrupsi teknologi, literasi kesehatan menjadi lebih penting daripada sebelumnya.
Bayangkan seorang pasien dengan diabetes tipe 2 di sebuah desa kecil di Indonesia. Ia tidak bisa membaca label makanan dalam kemasan, tidak paham pentingnya indeks glikemik, dan bingung membedakan antara insulin dan metformin. Dalam kasus seperti ini, ketidaktahuan bukan hanya ketidaknyamanan, tetapi bisa berarti kematian perlahan.
Namun, ketika pengetahuan dibuka melalui buku atau bacaan yang mudah dimengerti, pasien yang sama bisa menjadi pengelola terbaik penyakitnya. Di sinilah buku menjelma menjadi seolah "nanomedikasi". Partikel pengetahuan mikro yang merembes masuk ke dalam neuron, mengaktifkan sinaps, dan secara bertahap tapi pasti, mengubah perilaku.
Secara neurobiologis, membaca melibatkan jaringan kompleks di otak. Saat kita membaca, korteks prefrontal bekerja keras untuk memahami makna, sementara sistem limbik merespons secara emosional.
Bacaan yang menyentuh mampu mengaktifkan sistem reward dopaminergik, menciptakan rasa puas dan tenang. Ini bukan sekadar hiburan. Ini terapi. Benar, terapi membaca.
Di dalam kajian neurosains, dikenal istilah neuroplastisitas, kemampuan otak untuk berubah berdasarkan pengalaman. Membaca rutin, terutama buku-buku yang menantang kognisi, memperkuat koneksi antar-neuron dan bahkan bisa menunda gejala penyakit neurodegeneratif seperti Alzheimer.
Ini dibuktikan dalam studi longitudinal yang diterbitkan di jurnal Neurology, di mana orang yang rutin membaca mengalami penurunan kognitif yang jauh lebih lambat dibanding mereka yang tidak.
Tak hanya otak, sistem imun kita pun merespons bacaan. Bagaimana bisa? Saat seseorang membaca buku yang membuatnya tenang, tubuh akan mengurangi produksi hormon stres seperti kortisol.
Dalam jangka lama, kortisol dapat menekan sistem imun. Sebaliknya, bacaan yang memberi harapan, optimisme, dan makna hidup dapat meningkatkan kadar imunoglobulin A dalam air liur, garis pertahanan pertama dari sistem kekebalan tubuh.
Kesehatan adalah dialog antara tubuh, pikiran, lingkungan, dan semesta. Buku menjadi medium yang menjembatani ketiganya.
Dalam sebuah eksperimen yang dilakukan oleh peneliti dari Stanford University, terapi biblioterapi, yakni penggunaan buku dalam konteks penyembuhan mental dan fisik, menunjukkan hasil signifikan pada pasien kanker dan gangguan autoimun. Mereka yang terlibat dalam program ini menunjukkan penurunan rasa nyeri, kecemasan, dan depresi, serta peningkatan dalam kualitas hidup secara keseluruhan.
Regenerative medicine, ilmu yang bertujuan memperbaiki atau mengganti jaringan dan organ yang rusak, juga punya hubungan tak langsung dengan literasi. Pasien yang paham proses biologis tubuhnya, dari stem cell hingga teknologi CRISPR (gunting genetika), cenderung lebih patuh dalam menjalani terapi, lebih kooperatif dalam penelitian klinis, dan lebih siap menghadapi konsekuensi dari terapi-terapi masa depan yang sifatnya sangat personal (personalized medicine) dan kompleks.
Nanoteknologi, yang kini menjanjikan revolusi dalam sistem penghantaran obat dan deteksi penyakit, juga membutuhkan partisipasi pasien yang melek informasi. Tanpa pemahaman dasar tentang bagaimana nanopartikel bekerja, resistensi terhadap teknologi ini bisa tumbuh.
Kecurigaan, hoaks, dan ketakutan adalah anak kandung dari ketidaktahuan. Buku, baik dalam bentuk fisik maupun digital, serupa vaksin terhadap epidemi disinformasi ini.
Hari Buku Sedunia adalah kesempatan untuk merenungkan betapa kuatnya hubungan antara bacaan dan penyembuhan.
Dalam budaya Jawa kuno, dikenal istilah ngelmu iku kelakone kanthi laku, pengetahuan hanya bermakna jika diwujudkan dalam tindakan. Maka, membaca buku bukan tujuan akhir, melainkan awal dari perjalanan transformatif.
Dalam khazanah budaya Jepang, terdapat pepatah terkenal: manabu wa manebu, yang secara harfiah berarti "belajar adalah meniru". Peribahasa ini menggarisbawahi pentingnya pembelajaran melalui pengamatan dan praktik, sebuah proses yang erat kaitannya dengan kebiasaan membaca dan menginternalisasi nilai melalui teks.
Membaca bukan hanya menyerap informasi, tetapi juga meniru pola pikir dan kebijaksanaan dari para penulis terdahulu.
Sementara itu, dalam filosofi Tiongkok klasik, terdapat ungkapan bijak: shū zhōng zì yǒu huáng jīn wū, yang berarti "di dalam buku terdapat rumah emas". Maknanya adalah bahwa membaca dan menuntut ilmu membawa kekayaan yang jauh lebih bernilai daripada materi semata. Buku dianggap sebagai sumber harta intelektual yang tak ternilai, yang bisa membuka jalan menuju kehidupan yang lebih baik dan bermartabat.
Peribahasa-peribahasa ini, dari Timur hingga Nusantara, menggambarkan konsensus lintas budaya bahwa membaca adalah fondasi dari perubahan, baik pribadi maupun sosial. Di setiap aksara yang kita baca, terkandung benih transformasi yang bisa bertumbuh menjadi pohon pengetahuan dan buah kebijaksanaan, jika dipraktikkan dengan kesadaran dan niat yang tulus.
Buku adalah laboratorium kesadaran, tempat eksperimen mental terjadi. Buku bisa menjadi tempat pelarian, namun lebih sering, ia adalah jalan pulang. Ketika kita membaca, kita memperkuat struktur mental yang membantu kita menghadapi trauma, kehilangan, dan ketidakpastian, faktor-faktor utama yang memicu penyakit kronis dan menurunkan sistem kekebalan.
Literasi kesehatan bukan hanya tanggung jawab pasien, tapi juga tenaga medis, ilmuwan, dan pembuat kebijakan. Pengetahuan yang hanya tinggal di laboratorium adalah pengetahuan yang mandul. Ia harus dimasukkan ke dalam narasi yang mudah dicerna, dikontekstualisasi dalam budaya, dan dipersonalisasi dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam dunia yang semakin bising oleh informasi, buku adalah suara yang tenang sekaligus tegas. Ia tidak memaksa, tapi meyakinkan. Ia tidak menyembuhkan dengan pil, tapi dengan pemahaman. Di tengah tantangan kesehatan global, mulai dari resistensi antibiotik hingga krisis kesehatan mental, membaca bisa menjadi tindakan radikal yang membebaskan.
Di Hari Buku Sedunia ini, mari kita hadiahkan satu buku kepada diri sendiri. Bukan hanya untuk dinikmati, melainkan untuk dijadikan bagian dari proses pemulihan, penyembuhan, pertumbuhan, dan transformasi. Karena di balik setiap halaman yang dibalik, ada kemungkinan baru untuk hidup yang lebih sehat, lebih sadar, dan lebih bermakna.
Penulis: Dito Anurogo
Dokter, alumnus IPCTRM College of Medicine Taipei Medical University Taiwan, dosen FKIK Unismuh Makassar, peneliti di Institut Molekul Indonesia.
Sumber: Antara
Berhasil Login.....
Gagal Login
Komentar
Edit Komentar
Hapus Komentar
Anda yakin ingin menghapus komentar ?