Ilusi Platformisasi dan Gig Economy: Dilema Para Pekerja Precariat di Era Ekonomi Berbagi di Indonesia
IVOOX.id, Jakarta - Jika berbicara soal pekerja precariat/tidak tetap, beberapa negara di Asia Tenggara sudah tidak asing dengan konsep ini. Sejarah menunjukkan sektor pekerjaan informal telah menjadi norma dan tradisi yang berkembang sejak lama, termasuk di Indonesia.
Krisis ekonomi Asia tahun 1997-1998 mendorong terjadinya liberalisasi ekonomi yang berujung pada akselerasi industrialisasi dan urbanisasi di Indonesia. Masa Orde Baru ini mendorong lahirnya berbagai bentuk baru pekerjaan tidak tetap yang juga dimanfaatkan oleh sektor formal perekonomian untuk meminimalisir biaya tenaga kerja (Yasih, 2023).
Kemajuan teknologi di abad ke-21 kemudian membawa kita pada bentuk-bentuk pekerjaan tidak tetap lama di sektor perekonomian informal yang kini semakin banyak diterapkan di sektor ekonomi gig. Konsep ekonomi gig, yang populer di Amerika Serikat (AS) pascaresesi tahun 2008, biasanya mengandalkan tenaga kerja lepas dan fleksibel untuk memberikan berbagai layanan melalui platform aplikasi digital (Yasih, 2023; Izzati, et al., 2023).
“Normalisasi” konsep pekerjaan tidak tetap ini salah satunya terjadi akibat ketidakmampuan sektor formal menyerap angkatan kerja yang melimpah (Yasih, 2023). Ekonomi gig kemudian mendorong perluasan sistem kerja tidak tetap baru dengan melembagakan sektor ini sehingga memungkinkan penerapan sistem kerja tidak tetap secara luas di sektor perekonomian formal (Yasih, 2023).
Berbagai platform daring muncul menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Mereka menjual retorika “liberalisasi” dengan mantra “bekerja dengan ritme sendiri”, “tanpa atasan”, serta “menjadi pengusaha independen” (Casilli, 2017). Pada kenyataannya, hanya para pekerja yang gigih dan mengambil banyak jam kerjalah yang akan memperoleh pendapatan kotor melebihi upah minimum pekerja tetap (Hong, et al., 2020; Putri, et al., 2023). Sisanya, mungkin akan merugi atau mendapat penghasilan di bawah standar. Mereka juga tidak memperoleh hak yang sama layaknya pekerja yang memiliki status karyawan, seperti cuti berbayar, asuransi dibayar perusahaan, uang pensiun, uang lembur, dan manfaat lainnya.
Artikel ini berusaha menghubungkan tantangan akibat sistem ekonomi gig pada platform ride-hailing di Indonesia. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah kembali oleh Izzati, et al. (2023) mengestimasi bahwa angkatan kerja Indonesia yang menjadikan aktivitas gig sebagai pekerjaan utama sebesar 430 ribu-2,3 juta orang atau sekitar 0,3-1,7% dari total angkatan kerja. Sebanyak 1,2 juta di antaranya berfokus sebagai pekerja di platform ride-hailing, seperti Gojek, Grab, dan lainnya sehingga dapat dikatakan model bisnis ride-hailing marak dipilih di Indonesia.
Platform ride-hailing bekerja sebagai perantara antara penyedia jasa dan konsumen dengan mencocokkan penawaran dan permintaan secara algoritmik untuk menengahi proses transaksi pengemudi dan penumpang yang memiliki kemungkinan terhambat karena tingginya biaya pencarian dan transaksi (Hong, et al., 2020). Selain menawarkan layanan transportasi, mereka juga telah bertransformasi menjadi superapp yang menawarkan berbagai bentuk layanan lainnya, termasuk pengantaran barang dan makanan (Nugroho, et al., 2023).
Jika mengambil contoh kasus para pengemudi Gojek, perspektif undang-undang ketenagakerjaan menunjukkan tidak ada perjanjian kerja dalam hubungan kemitraan antara mereka dan PT. Gojek dikarenakan unsur upah tidak dipenuhi (Sonhaji, 2018). Justru pengemudilah yang menyetorkan sebagian hasil pekerjaannya (Sonhaji, 2018). Mereka juga harus bekerja dengan jam sangat panjang untuk memenuhi target dan bonus harian (Izzati, et al., 2023). Ketimpangan ini diperparah dengan kesadaran palsu dari prinsip neoliberalisme yang dipegang para pengemudi yang menganggap diri mereka sebagai mikro-entrepreneur sehingga terbiasa menanggung risiko pekerjaan (Yasih, 2023).
Jika dilihat dari perspektif determinisme teknologi, terlihat bagaimana kekuatan teknologi dapat menentukan dan membentuk tren dalam perubahan sosial dalam hal cara berpikir dan bertindak manusia (Țicău & Hadad, 2021). Platform digital telah menciptakan kolonialisme digital melalui kebijakan agresif dan keputusan ekonomi yang berakar dari determinisme teknologi (Casilli, 2017). Status ‘mitra’ telah mengaburkan seluruh tanggung jawab platform ke pundak pekerja. Para pekerja didorong untuk melakukan pekerjaan immaterial tanpa dibayar untuk mengoptimalkan visibilitas profil mereka melalui manajemen feedback algoritmik, termasuk pembaruan rute GPS, bertukar pesan atau menjawab panggilan penumpang, menilai perjalanan, serta mengurasi profil penumpang (Casilli, 2017; Kluzik, 2022). Semua itu pada akhirnya membantu platform membangun repositori big data mereka. Di saat yang sama, status pengemudi selaku mitra platform ini membuat mereka tidak menjadi bagian dari serikat pekerja yang akhirnya menghambat efektivitas perlawanan terhadap normalisasi pekerjaan tidak tetap di Indonesia (Kluzik, 2022; Yasih, 2023).
Harus diakui, model tata kelola ekosistem platform gig yang ada saat ini memberikan keuntungan bagi platform dan konsumen tetapi masih menempatkan pekerja gig dalam posisi terlemah (Chen, et al., 2023). Selain itu, masih terdapat kekosongan regulasi terutama yang mengatur perlindungan status para pekerja gig (Izzati, et al., 2023). Pemerintah selaku regulator perlu membentuk skema baru dan bekerja sama dengan platform, pekerja, dan pelanggan untuk membentuk ekosistem yang lebih adil untuk para pekerja. Pemerintah harus bisa mengakui para pekerja gig ini ke dalam hubungan karyawan dan pemberi kerja dan menjamin hak-hak mereka, termasuk upah minimum, istirahat, pensiun, dan jaminan sosial untuk pekerja informal modern (Santoso & Rakhmawan, 2021; Izzati, et al., 2023; Putri, et al., 2023).
Hambatan utama dalam penyusunan regulasi untuk ojek online adalah UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang menyebutkan bahwa sepeda motor tidak boleh digunakan sebagai angkutan umum. Meskipun saat ini sudah ada Permenhub Nomor 12 Tahun 2019 tentang “Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat”, tetapi aturan ini tidak menggunakan nomenklatur yang umum, seperti ‘angkutan umum’ atau ‘angkutan orang’ untuk menghindari konflik dengan peraturan perundangan di atasnya (Izzati, 2022). Peraturan ini pun dinilai memiliki ketidakseimbangan kewajiban yang dibebankan kepada para pihak dengan beban kewajiban jauh lebih besar justru berada pada pengemudi, dan hanya menyisakan sedikit kewajiban ditangan perusahaan aplikasi (Izzati, 2022).
Namun, peraturan ini dapat dikatakan sebagai langkah awal bagi regulasi ekonomi gig di Indonesia. Pemerintah telah mulai melakukan langkah konkret untuk meregulasi transportasi daring dan berupaya memberikan payung hukum yang menjawab kebutuhan masyarakat (Izzati, 2022). Hong, et al., (2020) juga mendorong platform kembali kepada prinsip utama ekonomi berbagi dengan memfasilitasi hubungan seluruh pihak yang terlibat, yaitu developer platform, konsumen, dan pengemudi sebagai penyedia jasa. Khusus bagi pengemudi, platform ride-haling dapat menawarkan opsi kontrak kerja yang memperhatikan tiga unsur, yaitu fleksibilitas waktu, keamanan finansial, dan keamanan fitur informasi pada platform (Hong, et al., 2020). Cara ini diharapkan dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan karena pasokan pengemudi stabil dan terprediksi, meningkatkan citra perusahaan, dan pada akhirnya menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi bagi platform (Hong, et al., 2020).
Artikel ini merupakan artikel opini oleh Dhea Febrina, Vona Yolanda Genita, Affan Prasetyo Herlambang, mahasiswa magister ilmu komunikasi Universitas Indonesia.
Berhasil Login.....
Gagal Login
Komentar
Edit Komentar
Hapus Komentar
Anda yakin ingin menghapus komentar ?