Indonesia Sedang Menghadapi Persoalan Serius dalam Layanan Kesehatan Gigi dan Mulut
IVOOX.id - Dalam banyak laporan kesehatan masyarakat, gangguan pada gigi dan mulut menjadi temuan yang sangat umum. Akan tetapi ironisnya, setengah dari seluruh Puskesmas di Indonesia belum memiliki dokter gigi.
Hal ini mencerminkan sebuah ketimpangan sekaligus kebutuhan mendesak yang belum terselesaikan bahwa Indonesia masih kekurangan tenaga dokter gigi, baik secara jumlah maupun sebaran.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan pada 2022, jumlah dokter gigi di Indonesia baru mencapai sekitar 40.000 orang. Padahal, idealnya dibutuhkan lebih dari 90.000 dokter gigi untuk melayani populasi penduduk Indonesia sekitar 270 juta jiwa.
Rasio dokter gigi saat ini, satu orang untuk melayani sekitar 3.000 pasien, jauh dari kondisi ideal. Ini bukan persoalan statistik semata, tapi menyangkut kualitas hidup jutaan orang yang tak mendapatkan layanan kesehatan gigi yang layak.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pendidikan dokter gigi masih sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, kehadiran lembaga pendidikan baru di bidang kedokteran gigi menjadi sangat penting, terutama jika lembaga pendidikan itu mampu mencetak tenaga profesional yang terampil, berintegritas, dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi.
Dalam konteks inilah perguruan tinggi atau di universitas sudah saatnya mengambil langkah strategis dengan membuka Fakultas Kedokteran Gigi (FKG). Pembukaan Fakultas Kedokteran Gigi ini merupakan jawaban atas kebutuhan mendesak dokter gigi di Indonesia. Karena selain persoalan jumlah, distribusi tenaga dokter gigi juga menjadi tantangan besar.
Banyak wilayah di Indonesia, terutama di luar Pulau Jawa, yang masih sangat kekurangan dokter gigi. Ketiadaan dokter gigi di Puskesmas, sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan dasar, menjadi salah satu indikator nyata dari ketimpangan ini.
Halaman berikut: Rancangan pendidikan kedokteran gigi
Pendidikan kedokteran gigi ke depan harus dirancang bukan sekadar menjadi tempat pendidikan akademik, tetapi juga menjadi institusi yang mencetak dokter gigi unggul dengan karakter kuat.
Lembaga pendidikan kedokteran gigi tersebut jika diperlukan harus didukung dengan fasilitas modern seperti Dental Simulation Lab, Oral Biology Lab, Dental Material & Technology Lab, Center for Reconstructive Dentistry, dan Dental Public Health Lab, sehingga mampu memberikan pengalaman belajar yang menyeluruh kepada mahasiswanya.
Ditambah lagi dengan teknologi terkini seperti intraoral scanner, 3D printing, serta pengembangan kecerdasan buatan (AI) dalam kedokteran gigi. Dengan demikian mahasiswa tidak hanya belajar teori, tapi juga langsung terlibat dalam praktik berstandar global.
Reconstructive Dentistry
Pemikiran ke depan yang perlu juga diperhatikan adalah pentingnya untuk menetapkan kurikulum yang mengedepankan Reconstructive Dentistry. Karena saat ini Indonesia benar-benar memerlukan kurikulum yang secara khusus menekankan aspek rekonstruksi, tidak hanya fokus pada pencegahan tetapi juga pada pemulihan gigi yang sudah mengalami kerusakan, dari gigi berlubang hingga kehilangan gigi.
Pendekatan ini tidak hanya mengikuti kebutuhan pasien di Indonesia, tetapi juga menyesuaikan dengan tren global,. Aspek rekonstruksi ini sangat penting untuk diberi penekanan, karena tingginya kasus kerusakan gigi, bahkan negara-negara maju pun masih menghadapi tingginya kasus kerusakan gigi ini.
Halaman berikut: Menanamkan nilai-nilai moral dan spiritual kepada calon dokter gigi
Selain itu, yang harus diperhatikan bahwa pendidikan kedokteran gigi tidak cukup sekadar memberikan pembelajaran teknis. Pendidikan kedokteran gigi ke depan harus menanamkan nilai-nilai moral dan spiritual kepada para mahasiswanya.
Pendidikan karakter dan pembinaan iman melalui Center for Foundational Education (CFE) menjadi bagian dari upaya mencetak pribadi-pribadi yang tidak hanya pintar, tetapi juga bijaksana dan peduli.
Dengan begitu, para lulusan FKG diharapkan bisa menjadi pribadi yang siap menjawab tantangan kesehatan gigi di Indonesia dengan pendekatan holistik, serta mampu mengabdi dengan semangat pelayanan, bahkan di wilayah-wilayah yang selama ini terpinggirkan dari jangkauan layanan kesehatan.
FKG juga penting untuk terintegrasi dengan berbagai institusi dan rumah sakit. Kolaborasi lintas bidang misalnya dengan Fakultas Kedokteran, Keperawatan, dan Farmasi di bawah Fakultas Ilmu Kesehatan (FIKES) juga memberikan peluang besar untuk pengembangan riset interdisipliner.
Dengan demikian, lulusan FKG tidak hanya memiliki kompetensi sebagai klinisi, tetapi juga bisa berkiprah dalam dunia akademik dan penelitian.
Langkah universitas atau perguruan tinggi yang memiliki inisiatif dalam membuka FKG patut diapresiasi, bukan hanya sebagai inisiatif akademik, tetapi juga sebagai kontribusi nyata terhadap pembangunan sistem kesehatan nasional. Indonesia membutuhkan lebih banyak dokter gigi. Bukan hanya dari segi jumlah, tetapi juga dari segi kualitas, distribusi, dan dedikasi.
Pendidikan kedokteran gigi harus terus diperkuat, didorong oleh visi kemanusiaan yang dalam, serta diarahkan untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat, termasuk mereka yang selama ini belum tersentuh layanan kesehatan gigi yang memadai. Tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam kesehatan gigi dan mulut hanya bisa dijawab melalui kolaborasi antara pemerintah, institusi pendidikan, rumah sakit, dan masyarakat.
Setiap langkah kecil menuju peningkatan jumlah dan mutu dokter gigi adalah investasi besar untuk masa depan kesehatan bangsa. Dalam konteks ini, FKG akan hadir sebagai bagian dari jawaban atas kebutuhan tersebut. Sebuah harapan baru, bahwa kelak, tidak ada lagi anak Indonesia yang tumbuh dengan gangguan kesehatan gigi hanya karena tidak ada dokter gigi di tempat tinggalnya.
Penulis: Andi S. Budihardja
Dekan Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Pelita Harapan (UPH).
Sumber: Antara
Berhasil Login.....
Gagal Login
Komentar
Edit Komentar
Hapus Komentar
Anda yakin ingin menghapus komentar ?