Menjamurnya Parkir Liar di Jakarta Merenggut Hak Pejalan Kaki
IVOOX.id – Praktik parkir liar masih menjadi pemandangan sehari-hari di banyak sudut Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dinilai perlu segera melakukan evaluasi dan audit menyeluruh terhadap manajemen parkir di badan jalan, termasuk mengkaji kembali keberadaan juru parkir (jukir) liar yang menguasai sejumlah lokasi.
Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI Pusat, Djoko Setijowarno, menilai kondisi ini sudah merampas hak pengguna jalan lain, seperti pejalan kaki, pengguna angkutan umum, dan pesepeda.
"Sejumlah trotoar diokupansi oleh sepeda motor sebagai lahan parkir. Ada hak pengguna jalan lain yang dilanggar dalam parkir liar, seperti keamanan dan kenyamanan," ujar Djoko kepada ivoox.id Senin (28/4/2025).
Ia menambahkan, parkir liar di badan jalan juga membawa kerugian keuangan daerah. Uang retribusi kerap masuk ke kantong pribadi, bukan ke kas daerah, bahkan sejumlah titik dikuasai oleh organisasi masyarakat (ormas) yang mungkin sebelumnya telah memberikan dukungan politik dalam pilkada.
Berdasarkan data Unit Pengelola Perparkiran Dinas Perhubungan DKI Jakarta, pendapatan dari sektor parkir mengalami fluktuasi dalam satu dekade terakhir. Puncaknya terjadi pada tahun 2017 dengan pemasukan mencapai Rp 107,8 miliar, namun setelah itu cenderung menurun. Hingga Maret 2025, pendapatan parkir baru mencapai Rp 13,7 miliar.
Saat ini, Dinas Perhubungan DKI hanya mengelola parkir off-street (parkir di luar badan jalan) di 69 dari total 615 lokasi parkir. Lokasi ini meliputi kantor pemerintah, gedung parkir, terminal, dan pasar. Parkir off-street dinilai lebih tertib karena tidak mengganggu lalu lintas.
Tingginya kebutuhan parkir di Jakarta, menurut Djoko, belum diimbangi dengan ketersediaan fasilitas yang memadai. Ini terjadi akibat keterbatasan lahan, keterbatasan anggaran, pembatasan ruang parkir, serta proyek revitalisasi trotoar yang mengurangi ruang parkir.
Meski penindakan sudah rutin dilakukan mulai dari derek kendaraan roda empat, operasi cabut pentil, hingga pengangkutan kendaraan roda dua fakta di lapangan menunjukkan belum ada efek jera. Masih banyak pengendara yang parkir di tempat terlarang begitu petugas pergi.
Menurut Djoko, masalah parkir di Jakarta bukan sekadar soal pengumpulan uang retribusi. Lebih dalam lagi, parkir seharusnya menjadi alat untuk mengendalikan penggunaan kendaraan pribadi dan mengurangi kemacetan, bukan sekadar ajang mencari pemasukan atau kompensasi politik.
"Parkir belum dikelola sebagai instrumen pengendalian kendaraan bermotor. Seolah ada pembiaran karena sudah merasa nyaman dengan kondisi seperti ini," ujar Djoko.
Idealnya, lanjut Djoko, pengelolaan parkir harus mencakup tiga aspek: manajemen lalu lintas, sumber pendapatan asli daerah (PAD), dan pelayanan publik. Parkir juga harus dioptimalkan untuk membiayai pengembangan angkutan umum.
Ia mengusulkan agar parkir tepi jalan dikelola lebih profesional, dengan juru parkir mendapatkan gaji tetap sesuai UMR, perlindungan BPJS, serta pembinaan rutin. Selain itu, parkir berlangganan dan penerapan tarif zonasi perlu segera diterapkan. Semakin ke pusat kota, tarif parkir harus lebih mahal agar masyarakat terdorong beralih ke transportasi umum.
"Kalau dikelola dengan benar, parkir bisa membantu mengurangi kemacetan dan menjadi sumber pembiayaan transportasi umum. Ini saatnya Jakarta menata ulang sistem perparkirannya secara menyeluruh," kata Djoko.
Berhasil Login.....
Gagal Login
Komentar
Edit Komentar
Hapus Komentar
Anda yakin ingin menghapus komentar ?