Mudik
IVOOX.id – Sekitar 146,48 juta orang diprakirakan akan mudik tahun ini. Berbagai moda transportasi telah disiapkan, kapasitas angkutan telah diprediksi jauh-jauh hari melalui mekanisme forecasting yang semakin presisi.
Mobilisasi lebih dari separuh negeri ini tentulah kenduri yang masif sekali. Ada pergerakan manusia yang disertai pergeseran dan distribusi ekonomi. Ada pula persamuhan budaya yang punya makna mendalam sebagai perekat nilai-nilai sosial dan kultural yang sarat esensi.
Healing Negeri akan dimulai pada beberapa hari terakhir ini. Dari aspek ekonomi saja, meski ada penurunan dari jumlah pemudik pada tahun lalu, diprakirakan sekitar 375,2 triliun dengan asumsi setiap pemudik membelanjakan sekitar Rp. 2,57 juta/orang. Hal yang bersifat intangible bisa memiliki nilai yang amat luar biasa.
Terjalinnya komunikasi yang baik dengan kerabat dan handai taulan, serta pelepasan tekanan emosi melalui katup-katup psikosial secara hipotetikal dapat merilis akumulasi tekanan multi dimensi yang dapat mereduksi potensi terjadinya detonasi dengan daya destruksi tinggi.
Kerinduan untuk pulang yang menciptakan suatu fenomena kecerdasan kolektif yang ditandai dengan aktivitas berkoloni yang kembali menelusuri jalan-jalan mengudik dalam prosesi meruaya ke hulu, adalah suatu ritual kontemplatif untuk menyegarkan kembali ingatan akan makna kehadiran dan keberadaan.
Bukankah manusia dari zaman ke zaman mampu bertahan hidup dengan membentuk kelompok kohesif untuk menyatukan segenap potensi dan kekuatan bukan? Keterikatan pada "rumah" (wilayah aman dengan keberlimpahan dan ketersediaan sumber daya) meningkatkan peluang untuk bertahan hidup, sehingga kecenderungan untuk kembali ke komunitas awal secara primordial tertanam dalam konteks evolusi sosial.
Budaya menciptakan ritual "pulang" (misal, lebaran dan hari raya keagamaan atau spiritual lainnya, pernikahan, juga pemakaman) dapat memperkuat identitas kolektif. Kesamaan asal menjadi kesadaran kolektif yang menggejala di berbagai populasi manusia. Meski dunia semakin plural dan manusia semakin bergenre global, tapi asal dan awal adalah salah satu perekat dalam sebentuk kesadaran komunal yang bersifat sub liminal.
Konsep Victor Turner tentang liminalitas menjelaskan rumah sebagai ruang transisi yang memberi stabilitas setelah mengalami perubahan. Dimana liminalitas, sendiri berasal dari kata "limen" yang dalam bahasa latin berarti "ambang". Dapat diartikan sebagai suatu keadaan atau fase transisi di mana seseorang berada di antara dua status atau keadaan, seringkali dalam konteks ritual atau perubahan sosial, menciptakan perasaan ketidakpastian dan transformasi.
Seseorang yang berada dalam keadaan liminal mungkin mengalami pengalaman yang berbeda dari kehidupan sehari-hari, yang dapat menciptakan perasaan alienasi, keanehan, atau nostalgia. Konsep liminalitas ini juga dikembangkan oleh antropolog Arnold van Gennep dalam teorinya tentang "rites of passage" (ritual peralihan). Dimana liminalitas dalam antropologi adalah status ketaksaan yang didapatkan seseorang melalui dan dalam ritual; tidak bertempat di sini atau di sana dan tidak memiliki posisi jelas seperti ditetapkan hukum, tradisi, atau konvensi.
Maka pulang menjadi jawaban atas klaim negasi identitas dan keterikatan kultural yang melonggar dan tercerabutnya kesadaran akan akar keberadaan.
Bagi sebagian besar masyarakat agraris yang berbasis budaya kolektif, "rumah" tidak hanya status fisik belaka, melainkan juga simbol identitas kultural. Clifford Geertz menyebutnya sebagai bagian dari "sistem makna" yang membentuk rasa memiliki, dan juga rasa dimiliki. Karena merasa dimiliki itu membuat manusia berpikir bahwa hidupnya cukup “berarti”. Memiliki dan dimiliki adalah struktur yang dibangun dari relasi dan interaksi yang direkatkan oleh mekanisme kontribusi. Maka pulang adalah persoalan pencarian kembali eksistensi melalui kontribusi pada suatu relasi yang meski menyedot begitu banyak energi, tapi senantiasa tak tersubstitusi sebagai ritual dengan sakralitas tinggi.
Jika kita mengacu kepada teori Kelekatan (Bowlby), maka ikatan emosional dengan mereka yang mengasuh dan membesarkan kita di masa kecil akan membentuk kebutuhan terhadap adanya "pelabuhan aman" (secure base), “suaka jiwa” yang keberadaannya akan menghadirkan rasa tenang. Suaka yang diwujudkan dalam konsep rumah dan kampung halaman (hometown) sebagai tempat perlindungan yang menjanjikan rasa aman.
Sementara studi oleh Batcho menunjukkan bahwa nostalgia adalah mekanisme koping yang dapat mengurangi stres dengan mengingat lingkungan familiar. Pengalihan fokus pada kenangan dan masa lalu akan membantu kita mengurai centang-perenang ruwet dari masalah hari ini yang membuat pikiran ribet. Rumah dan kampung akan menjadi simbol yang merepresentasikan sanctuary bagi stabilitas emosional.
Sedangkan jika kita mengacu kepada hierarki kebutuhan Maslow, maka kebutuhan akan rasa aman (safety) dan rasa memiliki-dimiliki (belonging) dipenuhi oleh lingkungan rumah. Hal ini sejalan dengan teori tempat yang mengikat atau place attachment, dimana manusia akan membentuk ikatan kognitif-emosional dengan lokasi tertentu, yang memicu kerinduan saat terpisahkan oleh jarak dan waktu. Suatu tempat dimana rindu dapat menubuh dan tak runtuh.
Dari sudut pandang biologis kecenderungan untuk tetap dekat dengan "home base" mungkin punya dasar sejarah yang pertimbangannya antara lain adalah adanya keuntungan survivalitas berupa akses makanan, perlindungan kelompok, dan pengetahuan geografis yang komprehensif. Gen yang terkait dengan perilaku ini mungkin diwariskan, dan diperkuat oleh kerja gen-gen sosial seperti gen pengikat sosial (social attachment genes) seperti gen reseptor oksitosin (OXTR) dan vasopresin (AVPR1A) yang bertanggungjawab dalam membangun ikatan sosial dan mengurangi stres akibat kompetisi yang mengalienasi.
Variasi genetik ini mungkin mempengaruhi kerinduan akan lingkungan sosial yang familiar. Dimana secara epigenetik, pengalaman masa kecil (misal kehangatan keluarga yang harmonis dan kaya akan beragam peristiwa sarat cinta) dapat mengubah ekspresi gen yang terkait dengan respons stres (misalnya, gen FKBP5), yang membuat individu lebih sensitif terhadap rasa aman dan nyaman di rumah, di saat berkumpul bersama keluarga tercinta.
Interaksi gen-lingkungan ini dapat diamati pada peristiwa homing pada hewan seperti pada berbagai spesies burung atau ikan yang bermigrasi. Mereka seolah memiliki "peta genetik" untuk navigasi pada saat meruaya. Sedangkan pada manusia, kompleksitas budaya dan teknologi tampaknya juga dapat memperkuat kecenderungan biologis ini. Hal ini antara lain ditunjukkan pada hasil penelitian pada pasangan kembar yang menunjukkan komponen herediter dalam konteks homesickness atau rindu rumah (kampung) meski faktor lingkungan (seperti pengasuhan) juga berperan. Jadi mudik dan kangen kampung itu ada dasar genetiknya kawan.
Maka kerinduan untuk pulang itu adalah hasil interaksi kompleks antara kebutuhan evolusioner untuk bertahan (antropologi), pencarian keamanan dan sensasi kenyamanan psikologis (psikologi), dan predisposisi genetik yang memperkuat ikatan sosial. Meskipun tidak ada "gen pulang" spesifik, kombinasi faktor genetik, epigenetik, dan kultural menciptakan dorongan universal ini. Dalam dunia modern, fenomena ini tetap relevan karena rumah tetap menjadi simbol stabilitas di tengah perubahan.
Dan secara spiritual, bukankah perjalanan hidup ini hanyalah suatu laku kembara untuk kembali pulang ke haribaan cinta Sang Maha Pencipta bukan?
Penulis: Tauhid Nur Azhar
Ahli neurosains dan aplikasi teknologi kecerdasan artifisial, SCCIC ITB/TFRIC-19.
Berhasil Login.....
Gagal Login
Komentar
Edit Komentar
Hapus Komentar
Anda yakin ingin menghapus komentar ?