Organisasi Masyarakat Sipil Desak Moratorium Izin Pertambangan
IVOOX.id – Organisasi Masyarakat Sipil dari wilayah Sulawesi hingga Papua, menyerukan moratorium izin tambang mineral dan batubara.
Seruan itu disampaikan dalam diskusi bertajuk urgensi moratorium izin tambang, yang diselenggarakan secara hibrid di Palu, Sabtu, 11 Oktober 2025. Kegiatan itu diinisiasi Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Regional Sulawesi–Papua.
“Komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris seharusnya menjadi dasar pengurangan aktivitas pertambangan, terutama batubara. Produksi batubara sudah jauh melampaui batas 400 juta ton per tahun, sebagaimana ditetapkan dalam RUEN. Pada 2024, produksinya bahkan mencapai 800 juta ton,” jelas Peneliti PWYP Indonesia Ariyansah Kiliu, Sabtu (11/10/2025), dikutip dari Antara.
Seruan ini muncul di tengah meningkatnya aktivitas eksploitasi tambang mineral dan batubara setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Kebijakan tersebut, diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2025, membuka peluang lebih luas bagi berbagai pihak termasuk koperasi, UKM, hingga badan usaha milik ormas keagamaan untuk memperoleh izin tambang.
Ia menambahkan maraknya tambang ilegal, lemahnya pengawasan, pelanggaran HAM, dan buruknya praktik reklamasi pascatambang memperkuat alasan urgensi moratorium.
Kekhawatiran serupa datang dari berbagai wilayah di Sulawesi. Di Sulawesi Tengah, Yayasan Kompas Peduli Hutan (KoMIU) menilai aktivitas pertambangan belum memberikan dampak ekonomi signifikan bagi masyarakat.
“Sebaliknya, yang muncul justru konflik sosial, kerusakan infrastruktur, banjir, deforestasi, dan krisis air bersih,” kata Ufudin dari KoMIU.
Dia pun meminta pemerintah pusat serius mempertimbangkan moratorium izin tambang di seluruh daerah.
Sementara itu, Direktur WALHI Sulteng Sunardi Katili menegaskan bahwa moratorium penting dilakukan karena kerusakan ekologis dan pelanggaran HAM akibat tambang semakin parah.
Kemudian, dari Sulawesi Selatan, Direktur Eksekutif YASMIB Sulawesi Rosniaty Panguriseng, menilai moratorium sangat relevan dengan arah pembangunan daerah dan komitmen nasional menuju ekonomi hijau.
“Moratorium bukan langkah anti-investasi, melainkan upaya memperbaiki tata kelola agar pembangunan tidak menukar kesejahteraan rakyat dengan kerusakan lingkungan,” kata Rosniaty, dikutip dari Antara.
Dukungan juga datang dari LePMIL Sulawesi Tenggara (Sultra). Direktur LePMIL Solihin, menyoroti carut-marut tata kelola pertambangan, mulai dari perizinan, penerimaan negara, hingga dampaknya terhadap masyarakat adat dan lingkungan.
“Situasi darurat lingkungan dan sosial ini menuntut langkah konkret. Negara harus segera melakukan moratorium operasi pertambangan di Sulawesi, Maluku, dan Papua,” kata Solihin, dikutip dari Antara.
Seruan terakhir datang dari Papua, Direktur PERDU Papua Risdianto menekankan pentingnya moratorium izin tambang di wilayah Papua Barat dan sekitarnya. Ia menilai, banyak kasus pertambangan seperti di Raja Ampat, Manokwari, Pegunungan Arfak, dan Tambrauw menunjukkan betapa gentingnya situasi.
“Moratorium diperlukan untuk memastikan pengakuan hak-hak masyarakat adat dan keberlanjutan lingkungan. Pemerintah pusat dan daerah perlu menyiapkan kebijakan hukum serta restrukturisasi kewenangan agar pengelolaan tambang lebih adil dan ekologis,” kata Risdianto, dikutip dari Antara.
Berhasil Login.....
Gagal Login
Komentar
Edit Komentar
Hapus Komentar
Anda yakin ingin menghapus komentar ?