Rahasia Kebahagiaan Menurut Sains dan Psikologi

26 Nov 2025

IVOOX.id – Dunia ini bekerja dengan cara yang tak terduga, sama seperti ketika semuanya semakin terhubung, tapi justru membuat banyak individu merasa terasing.

Kemudian muncul pertanyaan yang terus bergema dalam batin banyak orang, apakah kehidupan hari ini lebih banyak menghadirkan ketenangan atau justru tekanan yang perlahan mengikis kesejahteraan mental?

Kemajuan teknologi, derasnya arus media sosial, tuntutan pekerjaan yang tak pernah mereda, tekanan ekonomi, serta relasi sosial yang kian kompleks telah menempatkan kesehatan mental sebagai isu yang tidak lagi dapat dinomorduakan.

Data dalam e-journal UNAIR menunjukkan lebih dari 31 juta penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental, terdiri dari 19 juta kasus gangguan emosional dan 12 juta depresi.

Gambaran ini selaras dengan laporan WHO yang mencatat lebih dari 1 miliar manusia di seluruh dunia hidup dengan kecemasan, depresi, atau bentuk gangguan mental lainnya.

Pada 2023, Kementerian Kesehatan menekankan urgensi penanganan kesehatan mental sejak usia remaja dan mencatat bahwa 6,1 persen penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas menghadapi gangguan mental.

Worldmetrics pun melaporkan bahwa perempuan hampir dua kali lebih rentan mengalami depresi dibanding laki-laki, 75 persen penyakit mental dimulai sebelum usia 24 tahun, dan perilaku melukai diri paling tinggi terjadi pada remaja usia 12 hingga 17 tahun.

Di balik angka-angka tersebut, kesehatan mental sesungguhnya dipengaruhi oleh banyak lapisan: faktor biologis, pengalaman psikologis, lingkungan sosial, kebiasaan harian, dan makna hidup yang dijalani.

Upaya membangun pikiran yang realistis dan lentur, kebiasaan hidup yang sehat, dukungan lingkungan sosial, serta tujuan hidup yang manusiawi menjadi fondasi penting yang memperkuat daya lenting seseorang dalam menghadapi tantangan. Nilai-nilai inilah yang sering kali membantu menurunkan risiko gangguan mental di tengah kehidupan yang bergerak semakin cepat.

Dalam dinamika modern, muncul pergeseran besar dalam cara banyak individu memaknai kebahagiaan. Pengejaran kesenangan sesaat kerap menjadi pusat orientasi hidup termasuk kenyamanan instan, validasi, pujian, keberhasilan cepat, dan stimulasi tanpa henti menjadi hal yang dianggap wajar.

Media sosial memperkuat dorongan ego untuk tampil sempurna, terlihat berhasil, dan dianggap penting. Namun, bertolak belakang dengan apa yang dicari, semakin keras kesenangan diburu, semakin jauh seseorang dari kedamaian batin.

Kesenangan hanya memicu dopamin sesaat dan tidak pernah bertahan lama. Ketika kesenangan disalahartikan sebagai kebahagiaan, muncul lingkaran tak berujung: rangsangan baru terus dikejar, tetapi rasa cukup tak pernah benar-benar hadir.

Konsep BFA

Konsep Best Feeling Achievement atau BFA membantu membedakan kesenangan (pleasure) dari kebahagiaan (happiness atau meaning). Kesenangan bersifat cepat dan dangkal, sedangkan kebahagiaan lahir dari makna hidup, tujuan yang kuat, relasi berkualitas, kedalaman spiritual, dan keselarasan dengan nilai diri. Tidak heran banyak individu yang tampak berhasil justru merasakan kehampaan, karena hidup mereka penuh pencapaian namun miskin makna.

Sains modern turut memperkuat pemahaman ini. Penelitian Harvard selama 75 tahun, salah satu studi terpanjang yang pernah dilakukan, memberikan kesimpulan yang sederhana tapi kuat: kualitas relasi adalah penentu utama kebahagiaan dan kesehatan mental.

Relasi yang hangat dan stabil melindungi seseorang dari stres kronis, kecemasan, depresi, dan isolasi emosional. Namun di era digital, relasi tulus justru semakin sulit dibangun.

Kesalahpahaman lebih cepat muncul, perbandingan hidup semakin mudah terjadi, dan banyak orang menarik diri ketika tersakiti. Kesepian pun tumbuh sebagai epidemi baru yang menggerus daya tahan mental.

Para pemikir jauh sebelum era digital telah mengingatkan bahaya hidup yang dikuasai ego. Albert Einstein pada 1922 menulis bahwa hidup yang damai dan sederhana jauh lebih membahagiakan daripada mengejar kesuksesan disertai kegelisahan tanpa henti.

Sains modern kembali menegaskan intuisi itu bahwa kesederhanaan, ketenangan, dan ritme hidup yang tidak berlebihan lebih menopang kesehatan jiwa dibanding keberhasilan yang terus-menerus dikejar.

Gangguan mental memang memiliki faktor biologis, genetik, trauma masa lalu, dan lingkungan yang sulit dikendalikan. Namun di luar faktor-faktor itu, manusia tetap memiliki ruang pilihan dalam mengelola pola pikir, kebiasaan hidup, dan orientasi batin. Ruang kecil inilah yang dapat memperkuat ketahanan psikologis dan menjaga kewarasan di tengah tekanan modern.

Salah satu langkah penting dalam menumbuhkan kesejahteraan batin adalah kemampuan mengelola ego. Dalam konsep BFA, ego dapat menjadi penjaga citra diri, tetapi juga dapat berubah menjadi sumber luka yang tak terlihat jika tidak dikendalikan.

Keinginan untuk dihormati, dipuji, terlihat benar, merasa unggul, atau selalu menang dapat membuat seseorang sulit menerima realitas, sulit meminta maaf, mudah tersinggung, dan terus membandingkan diri. Ketika validasi eksternal menjadi acuan utama harga diri, tekanan mental semakin besar.

Kesadaran Diri

Kesadaran diri atau self-awareness menjadi kunci awal untuk memahami gerak batin ini. Menyadari bagian mana dari diri yang tersinggung, mempertanyakan alasan di balik keinginan memamerkan sesuatu, atau membedakan antara solusi dan pelampiasan emosi dapat membuka ruang refleksi yang jernih.

Kesadaran ini membantu seseorang menerima bahwa ia dapat salah, tidak selalu tahu, dan dapat belajar tanpa harus merasa terancam. Mengakui ketidaksempurnaan bukan kelemahan, melainkan bentuk kedewasaan.

Pengelolaan ego juga berkaitan dengan kemampuan mengenali emosi. Banyak orang marah ketika sebenarnya terluka, bersikap keras ketika sebenarnya takut, atau menjadi arogan ketika merasa tidak aman.

Mengakui emosi asli memberi kekuatan untuk mengendalikannya. Fokus tidak lagi pada pencitraan, tetapi pada pertumbuhan diri.

Kerendahan hati dapat dilatih melalui tindakan-tindakan kecil namun bermakna, misalnya melakukan kebaikan tanpa diketahui, memberi apresiasi tulus kepada orang lain, dan mengakui kelebihan orang lain tanpa merasa tersisihkan.

Pada akhirnya, perjalanan mengelola ego selalu berhubungan dengan pencarian makna hidup. Pertanyaan tentang nilai-nilai apa yang ingin dijalani, apa yang ingin diwariskan, dan apa yang membuat hidup bernilai membantu menata ulang arah batin.

Integritas spiritual, apa pun bentuk keyakinannya, dapat hadir melalui doa, meditasi, renungan, membaca kitab suci, maupun jurnal syukur. Semua ini membantu seseorang menyadari bahwa hidup memiliki dimensi yang lebih luas dari dirinya sendiri.

Ego pada dasarnya dibutuhkan untuk bertahan hidup, tetapi ego yang tidak dikendalikan dapat berubah menjadi musuh yang merusak. Transformasi dari ego buruk menjadi ego terbaik membuka jalan bagi kebahagiaan yang lebih stabil, tenang, dan bermakna.

Dengan membatasi kesenangan semu dan memperkuat kualitas kebahagiaan yang lahir dari makna, seseorang dapat membangun kesehatan mental yang lebih kuat, menemukan peran sejati dalam kehidupan, dan tumbuh menjadi pribadi yang utuh serta bermartabat.

Penulis: A. Roni Kurniawan

Praktisi Pendidikan, Trainer/Educator di Yamjaya, dan Pengembang Metode Edukasi Praktis berbasis Psikologi pada Rumah Belajar Bersama (Rbebe).

Sumber: Antara

Komentar

Berhasil Login.....

Gagal Login

Back to Top

Komentar berhasil di tambah

Komentar berhasil di Edit

Komentar berhasil di Dihapus

Anda Harus Login

Tidak Boleh Kosong