Skor Integritas: Mewujudkan Kejujuran Hakiki di Perguruan Tinggi
IVOOX.id - Coba bayangkan situasi ini: Anda ingin menilai kemampuan seorang koki. Mana yang lebih masuk akal? Langsung mencicipi hasil masakannya untuk merasakan sendiri kualitasnya, atau hanya melihat-lihat seberapa mewah dan terkenal restoran tempatnya bekerja?
Tentu saja pilihan pertama yang lebih logis, bukan? Tapi anehnya, dunia akademik kita, yang disinyalir sebagian pihak sebagai “menara gading” tempat ilmu pengetahuan diasah, justru lebih memilih cara kedua.
Kita sudah terlalu terobsesi dengan proksi, alias jalan pintas berupa angka-angka dan peringkat (indeksasi, penerbit), untuk menilai sebuah karya ilmiah.
Sudah puluhan tahun lamanya, berbagai metrik seperti H-Index, Impact Factor, Quartile dan peringkat jurnal jadi semacam dewa yang menentukan nasib. Para akademisi malah lebih sibuk memikirkan di “restoran” mana tulisan mereka bakal terbit, daripada fokus menyempurnakan “resep” penelitiannya.
Nah, sebagai reaksi terhadap hal ini, muncullah gerakan moral yang disebut Deklarasi San Francisco tentang Penilaian Riset (DORA). Pesannya amat sederhana namun sangat mendasar, yaitu nilailah riset dari keunggulannya sendiri, jangan dari jurnal tempatnya berada. Intinya, cicip dulu masakannya, jangan cuma lihat reputasi restorannya.
Mitos Sang Penjaga Gerbang
Ternyata, anggapan bahwa “restoran elit” itu jaminan mutu terbukti keliru total. Sewaktu pandemi COVID-19 kemarin, dua jurnal kesehatan paling bergengsi di dunia, yaitu The Lancet dan The New England Journal of Medicine, sampai harus menarik kembali sebuah artikel karena datanya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Peristiwa itu dikenal sebagai Kasus Surgisphere, dan menjadi bukti nyata bahwa bergengsi bukan berarti integritas terjamin. Restoran paling mewah sekalipun ternyata bisa saja menyajikan racun.
Kasus Surgisphere ternyata bukan kejadian tunggal. Ini bagian dari masalah besar yang menimpa bahkan jurnal paling terhormat sekalipun. Data retraksi membuktikan bahwa ini adalah masalah sistemik yang berpola, bukan sekadar “insiden kebetulan atau kecelakaan”.
Ambil contoh, jurnal Nature yang pada 2024 menarik artikel stem cell dari 2002 karya lab Catherine Verfaillie. Artikel ini sudah dikutip hampir 4.500 kali — rekor untuk artikel yang ditarik — baru dicabut setelah 22 tahun karena manipulasi gambar dan penulis tak bisa menunjukkan data asli. Kasus serupa di berbagai jurnal (dianggap) elit terus bermunculan baik berupa data palsu, plagiat, pelanggaran etika.
Angkanya mencengangkan. Studi besar yang pernah menganalisis 2.047 artikel penelitian dalam bidang biomedis dan ilmu hayati yang diretraksi menunjukkan 67,4 persen retraksi disebabkan pelanggaran sengaja: penipuan atau dugaan penipuan (43,4 persen), publikasi ganda (14,2 persen), plagiat (9,8 persen), meskipun masuk dalam indeksasi bereputasi PubMed (sumber: https://www.pnas.org/doi/suppl/10.1073/pnas.1212247109).
Kesalahan jujur (honest mistake) hanya 21,3 persen. Yang lebih mengkhawatirkan, tingkat retraksi naik lebih cepat dari jumlah artikel yang terbit.
Pemberitaan tersebut mendobrak mitos bahwa jurnal bergengsi sama dengan penelitian berkualitas. Justru sebaliknya, obsesi terhadap jurnal “top” malah menciptakan kondisi subur untuk kecurangan. Persaingan brutal untuk menembus jurnal elit, ditambah iming-iming karier cemerlang dari “terobosan,” mendorong peneliti ke jurang kerentanan berbuat curang.
Di sisi lain, tidak sedikit editor dan reviewer bisa terpesona potensi dampak besar suatu naskah hingga melupakan skeptisisme sehat. Sebagian mereka gagal melakukan pengecekan dasar seperti mempertanyakan asal data.
Jadi, mengandalkan gengsi jurnal sebagai jaminan kualitas bukan cuma malas, tapi juga berbahaya. Setiap penelitian, dari jurnal manapun, harus dinilai dari bukti dan metodenya sendiri, bukan dari nama jurnal yang memuat.
Di ujung yang lain, kita sering sekali memberi label “jurnal predator” ke penerbit yang dianggap abal-abal, yang hanya mengeksploitasi peneliti demi uang. Namun, coba kita pikir ulang sebentar. Bukankah jurnal-jurnal “terhormat” yang mengunci ilmu pengetahuan di balik tembok bayar mahal (sampai hanya segelintir orang yang dapat mengakses) juga predator buat akal sehat publik?
Label hitam-putih semacam itu (Reputable vs. Nonreputable; Predator vs. Nonpredator) malah membikin kabur tekanan sistemik “terbitkan atau tenggelam” (publish or perish) yang memaksa banyak peneliti mencari jalan pintas, entah ke jurnal yang “dianggap” reputasinya rendah atau yang terlalu tinggi.
Pengawas integritas ikut tersesat
Di tengah krisis kepercayaan ini, muncul metrik baru yang tampak menjanjikan: Research Integrity Risk Index (RI2). Tujuannya mulia, menjadi semacam “pengawas integritas” yang mengukur risiko integritas sebuah universitas. Di saat skandal paper mills (pabrik makalah) dan penipuan data merajalela, kehadiran alat seperti RI2 memang terasa seperti angin segar.
Logika RI2 kedengarannya sederhana dan masuk akal. Skor “risiko integritas” sebuah institusi diukur dari dua hal utama. Pertama risiko retraksi, seberapa sering artikel dari universitas tersebut ditarik kembali karena berbagai masalah – mulai dari kesalahan metodologi sampai kecurangan data.
Kedua, risiko jurnal bermasalah. Seberapa banyak publikasi dari universitas tersebut yang terbit di jurnal-jurnal yang sudah di-blacklist atau dihapus dari basis data besar (Web of Science, Scopus) karena praktik penerbitan yang buruk.
Dari dua indikator ini, lahirlah skor yang menempatkan universitas dalam kategori risiko, dari “Rendah” sampai “Bendera Merah”, termasuk 13 Perguruan Tinggi di Indonesia. Niatnya baik sekali, menandakan institusi yang profilnya menyimpang dan mungkin punya masalah integritas sistemik.
Namun justru di sinilah letak kontradiksi fundamentalnya. Mari kita kembali lagi ke prinsip DORA: jangan nilai riset dari wadahnya (jurnalnya). RI2, dalam upayanya mengukur integritas, justru melakukan pengabaian, kalau bukan pelanggaran, telak terhadap prinsip ini.
RI2 menilai “kebersihan dapur” sebuah universitas bukan dengan memeriksa dapurnya langsung (seperti melihat program pelatihan etika, kekuatan komite pengawas, atau budaya risetnya) tetapi dengan cara menghitung berapa kali “restoran” tempat para kokinya bekerja pernah kena semprit dinas kesehatan (retraksi) atau dicabut izinnya (penghapusan dari daftar).
Hal ini sesat pikir yang sangat berbahaya. RI2 adalah wujud baru dari “jebakan proksi” yang sama, hanya targetnya diganti dari “kualitas” (yang selama ini coba diwakilkan ke Impact Factor dsb) menjadi “integritas”. Indeks ini mengalihdayakan (outsourcing) penilaian integritas ke peristiwa-peristiwa yang terjadi pada jurnal, bukan pada institusi itu sendiri.
Hal ini malah dapat membikin insentif yang salah. Dihadapkan kepada skor RI2 yang jelek, respons paling mudah buat sebuah institusi bukanlah mengerjakan tugas berat berupa reformasi budaya riset, budaya etik, tetapi “mengakali” skornya.
Caranya? Bisa dengan membuat daftar hitam (atau daftar putih) jurnal secara internal, atau bahkan menekan kasus yang seharusnya diretraksi agar tidak terungkap demi menjaga angka. Perilaku ini justru kebalikan dari upaya menumbuhkan integritas sejati.
Tentu saja, RI2 sebenarnya masih ada gunanya, seperti alarm kebakaran di rumah. Ketika alarm berbunyi keras (angka RI2 tinggi), artinya ada tanda bahaya yang harus segera dicek. Alarm ini memaksa universitas atau lembaga penelitian untuk berhenti dan bertanya, “Mengapa banyak peneliti kita yang tulisannya dicabut atau dimuat di jurnal yang dianggap bermasalah?” Dengan begitu, RI2 bisa jadi pengingat untuk memperbaiki diri.
Tapi mari kita ingat juga, RI2 punya kelemahan mendasar. Kalau alarm bunyi, belum tentu ada kebakaran sungguhan – mungkin hanya masakan yang gosong. Kalau alarm diam, juga belum tentu aman – bisa jadi ada api kecil yang tersembunyi dan belum terdeteksi.
Jadi, mengandalkan alarm semata tanpa memeriksa langsung sumber apinya akan menjadi sebuah kelalaian.
Kembali menilai manusia
Penyakitnya bukan metrik spesifik (entah itu H-Index, JIF, FWCI, atau RI2) tetapi kecanduan kita pada angka sebagai jalan pintas evaluasi. Solusinya bukan merumuskan angka yang lebih cerdas, tapi keberanian buat berhenti menyembah angka.
Jalan keluarnya bersifat manusiawi. Kita harus kembali ke cara mengevaluasi yang memang prosedural dan butuh banyak sumber daya, tapi jauh lebih adil dan bermakna. Berikan penghargaan kepada peneliti yang aktif melakukan hal-hal baik untuk membuat penelitiannya lebih berkualitas, dapat dipercaya, dan mudah dipahami orang lain.
Contoh hal-hal baik yang dimaksud adalah mendaftarkan rencana penelitian sebelum mulai (supaya pernyataan desain awal penelitian tidak gampang diubah-ubah menyesuaikan dengan hasil akhir). Di samping itu, membagikan data dan cara kerjanya secara terbuka supaya orang lain bisa ikut mengecek (open data, open methods/protocols, open code), mempromosikan praktik sains terbuka (open science practices).
Juga, membuat tersedia bagi publik tulisan awal kita sebelum resmi terbit (supaya bisa memperoleh sebanyak mungkin masukan dulu dari mana-mana, tentu dengan dilabeli sebagai “Pracetak/Pre-Print” agar diperlakukan masyarakat secara tepat sebagai naskah yang belum lolos peer-review).
Ikutlah menilai karya peneliti lain dengan cara yang jujur, membangun/konstruktif, dan sekaligus juga terbuka (mulai budayakan open review, tinggalkan blind review). Semua kegiatan ini bisa dilihat dan dibuktikan langsung.
Ini menunjukkan bahwa peneliti tersebut jujur dan benar-benar ingin memajukan ilmu pengetahuan. Intinya, hargai peneliti yang transparan dan mau berbagi, bukan yang koruptif, menyembunyikan cara kerjanya.
Para peneliti perlu bisa “menjual diri” dengan cara yang yang lebih tepat. Misalnya, saat membuat CV atau profil daring, jangan hanya menulis, “Saya pernah terbit di jurnal A, B, C” atau “Skor saya sekian“.
Lebih baik jelaskan : “Penelitian saya penting karena memecahkan masalah X, hasilnya bisa dipakai untuk Y, dan dampaknya Z.” Gunakan format seperti Résumé for Researchers (RoR) yang disarankan Royal Society – ceritakan mengapa karya kita berguna, bukan semata-mata di mana kita terbit.
Tim yang menilai peneliti (untuk performa kerja, seleksi, atau naik jabatan) juga harus berubah. Mereka harus benar-benar membaca karya terbaik si peneliti, bukan terbatas melihat angka-angka (JIF, SJR, dan sebagainya).
Yang dinilai juga jangan hanya tulisan di jurnal, tetapi semua kontribusi termasuk data yang dibagikan, program komputer atau reagen yang dibuat, mahasiswa yang dibimbing, dan manfaat nyata untuk masyarakat. Intinya, nilai peneliti dari seberapa besar dia berkontribusi, bukan dari seberapa tinggi skornya.
Sudah saatnya para penghuni “menara gading” (bila benar ada) menyadari jika menilai keunggulan dan integritas tidak bisa diwakilkan ke algoritma. Tugas itu butuh kearifan, diskusi, dan penilaian manusiawi.
Hanya dengan begitu kita bisa menyembuhkan penyakit angka ini dan kembali ke hakikat keilmuan: mencari kebenaran dan memajukan kesejahteraan umum, bukan hanya mengoleksi skor.
Penulis: Juneman Abraham
Penulis buku “Melawan Korupsi Ilmu”
Sumber: Antara
Berhasil Login.....
Gagal Login
Komentar
Edit Komentar
Hapus Komentar
Anda yakin ingin menghapus komentar ?