Desa Tertinggal kian Berkurang

11 Dec 2018

IVOOX.id, Jakarta -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Pembangunan Desa (IPD) 2018 mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan pada 2014. Hal itu dapat terlihat berdasarkan lima dimensi penyusun IPD.


Kelima dimensi itu ialah pelayanan dasar, kondisi infrastruktur, transportasi, pelayanan umum, dan penyelenggaraan pemerintah desa.


Alhasil, desa tertinggal pun semakin berkurang. Pengurangan jumlah desa tertinggal itu melewati target pemerintah dalam RPJMN 2015-2019, yakni 5.000 desa tertinggal. Target penambahan desa mandiri juga melewati target 2.000 desa.


"Ini sebuah capaian yang kita patut apresiasi. Kita harapkan jumlah desa mandiri terus meningkat dan desa tertinggal semakin berkurang," kata Kepala BPS Suhariyanto saat memaparkan Hasil Pendataan Potensi Desa (Podes) 2018 di Gedung BPS, Jakarta, kemarin.


Dalam Podes 2018 terdapat IPD yang merupakan indeks untuk menunjukkan tingkat perkembangan desa dengan status tertinggal, berkembang, dan mandiri (lihat grafik).


"Pada 2018, semua dimensi penyusun IPD mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan di 2014," ujar Suhariyanto.


Dimensi pelayanan dasar meningkat 0,92 poin dari 56,73 poin (2014) menjadi 57,65 poin (2018). Dalam pelayanan dasar, ketersediaan dan akses SMU/MA meningkat 19% ketimbang di 2014.


Selain itu, ketersediaan dan kemudahan akses ke apotek meningkat 54%. Akses ke rumah sakit pun meningkat 20% jika dibandingkan dengan pada 2014.


Dimensi kondisi infrastruktur juga meningkat dari 39,21 poin (2014) menjadi 44,63 poin (2018).


Dimensi dengan kenaikan tertinggi ialah penyelenggaraan pemerintah desa sebesar 9,81 poin. Sebaliknya dimensi dengan kenaikan terkecil ialah pelayanan dasar yakni sebesar 0,92 poin.


Menurut Suharyanto, mayoritas desa di Indonesia berstatus desa berkembang, yakni 55.369 (73,40%) dari jumlah desa di 2018 yang sebanyak 75.436 desa.


"Kita punya PR desa tertinggal, terutama di Indonesia bagian timur," jelas Suhariyanto.


Desa tertinggal paling banyak ialah di Papua, Maluku, dan Kali-mantan. "Persoalan besar yang kita hadapi ialah lebih ke masalah geografis. Desa-desa di Papua Barat, misalnya, sangat sulit untuk dijangkau," ungkapnya.


Dukungan infrastruktur


Di tempat yang sama, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo mengatakan dana desa kurang efektif jika diberikan kepada satu wilayah yang utamanya tidak memiliki dukungan infrastruktur.


"Misalnya jalan tidak ada, kita harus pakai pesawat. Dana Rp1 miliar jadi tidak efektif karena apa-apa mahal," ujarnya.


Menurut Eko, dana desa hanya bagian dari program Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla yang harus didukung sinergi program antarkementerian atau lembaga lainnya, terutama yang terkait dengan proyek infastruktur.


"Kan ada program Trans-Papua dan BBM satu harga. Jadi, kalau BBM mahal, dana desa berapa pun juga tidak efektif," tuturnya.


Secara terpisah, peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus menilai bahwa ada andil dari program dana desa terhadap meningkatnya perkembangan desa di Indonesia.


"Pasti (ada andil dari dana desa). Kalau naik potensi desanya memang wajar karena ada anggaran khusus untuk desa dan jumlahnya tiap tahun terus bertambah. Kalau enggak ada kenaikan, justru aneh," ujarnya saat dihubungi, kemarin.


Heri mengatakan pada awal program dana desa dilaksanakan banyak tantangan yang dihadapi. "Itu program yang sifatnya bertahap dari tahun ke tahun. Desa yang sudah berhasil melakukan exercise dana desa sudah semakin meningkat," jelasnya. ( Adhi Teguh )

Komentar

Berhasil Login.....

Gagal Login

Back to Top

Komentar berhasil di tambah

Komentar berhasil di Edit

Komentar berhasil di Dihapus

Anda Harus Login

Tidak Boleh Kosong