Iman Lintas Agama Bersatu Desak Pencabutan IUP di Pulau-pulau Kecil Demi Menyelamatkan Ciptaan Tuhan
IVOOX.id – Green Faith Indonesia bersama tokoh-tokoh agama dan masyarakat adat, mendesak pemerintah mencabut seluruh Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang merusak lingkungan di pulau-pulau kecil Indonesia. Seruan ini muncul menanggapi pencabutan empat IUP di Raja Ampat oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, yang dianggap belum cukup untuk menghentikan laju kehancuran ekologis yang terjadi secara masif di kawasan-kawasan rentan.
Direktur Green Faith Indonesia, Hening Parlan, menegaskan bahwa pertambangan di pulau kecil bukan hanya memperparah krisis iklim, tetapi juga merupakan bentuk ketidaktaatan spiritual. “Sebagai bangsa kepulauan, kita punya amanah spiritual dan konstitusional untuk menjaga lebih dari 10 ribu pulau kecil. Dalam Al-Qur’an jelas dinyatakan: ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya’ (QS. Al-A’raf: 56),” katanya dalam keterangan resmi yang diterima ivoox.id Kamis (12/6/2025).
Ia juga menyinggung bahwa aktivitas tambang di pulau kecil melanggar Undang-Undang No. 27 Tahun 2007, khususnya Pasal 35 dan 73. “Cinta tanah air harus diwujudkan dengan melindungi pulau-pulau kecil dari eksploitasi rakus,” ujarnya.
Lebih jauh, Green Faith menyoroti ironi transisi energi yang semula dijanjikan sebagai solusi ramah lingkungan. Di balik industri mobil listrik dan tambang nikel, muncul penderitaan baru. Data dari Forest Watch Indonesia mencatat hilangnya 5.700 hektare hutan di Maluku Utara sejak 2021. Studi Nexus Foundation (2024) menemukan jejak merkuri dan arsenik dalam tubuh ikan dan darah warga Teluk Weda, bahkan lebih tinggi dari pekerja industri. Lonjakan kasus ISPA dan diare turut memperkuat bukti bahwa kerusakan ini nyata dan membebani kesehatan masyarakat.
Hening menyebut ini sebagai bentuk kezaliman ekologis. “Transisi energi harus adil, bukan menciptakan penderitaan baru atas nama kemajuan,” tegasnya.
Dalam perspektif Hindu, konsep Tri Hita Karana—keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan—menjadi dasar penolakan terhadap tambang. “Ketika bhuwana agung (alam semesta) dirusak, maka bhuwana alit (jiwa manusia) pun ikut tercemar,” katanya.
Nada yang sama datang dari Mgr. Bernardus Bofitwos Baru OSA, Uskup Timika. Dalam khotbah Hari Raya Pentakosta di Timika, ia menyatakan kesedihan mendalam atas kerusakan Raja Ampat. “Perasaan saya tercabik-cabik. Alam Papua yang merupakan mahakarya Tuhan kini dilukai oleh kerakusan manusia. Ini bukan hanya kerusakan lingkungan, ini kekerasan terhadap alam dan masyarakat adat.”
Pdt. Prof. Binsar Pakpahan, Ph.D dari STFT Jakarta mengajak umat beriman untuk tidak hanya berkhotbah, tetapi bersuara melawan sistem yang membiarkan kerusakan lingkungan menjadi hal biasa. “Alam adalah titipan Tuhan, bukan ladang eksploitasi. Ketika keserakahan menggantikan nurani, maka iman harus berdiri membela ciptaan.”
Dari kalangan pesantren, Roy Murtadho, pengasuh Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar, menyebut krisis ini sebagai dilema etika pemimpin. “Kerusakan habitat, pencemaran air, dan hilangnya kualitas hidup adalah dosa ekologis yang ditanggung generasi ke depan,” katanya.
Romo Ferry Sutrisna Widjaja dari Eco Camp Bandung mengingatkan seruan Paus Fransiskus dalam Laudato Si: "Apa dunia yang akan kita wariskan untuk anak cucu kita?" Pertanyaan ini, katanya, seharusnya menggugah hati para pengambil kebijakan dan pelaku industri.
Empati juga datang dari Bali. Putu Ardana, dari Masyarakat Adat Dalem Tamblingan (MADT), menyampaikan bahwa masyarakat adat memiliki warisan spiritual seperti “Piagem Gama Tirta” yang mengajarkan untuk memuliakan air dan menjaga harmoni alam. “Sayangnya, kearifan ini sering dikalahkan oleh kepentingan industri.”
Sementara itu, Upasaka Titha Sukho dari komunitas Buddhis menegaskan bahwa perusakan hutan adalah bentuk karma buruk. “Dalam ajaran Buddha, merusak alam sama dengan menanam penderitaan. Hutan adalah rumah makhluk hidup yang harus dilindungi, bukan dihancurkan,” ujarnya, mengutip Jataka 247.
Dengan semangat lintas iman dan budaya, Green Faith Indonesia menyerukan agar pemerintah segera menghentikan semua bentuk pertambangan yang merusak pulau-pulau kecil. “Ini bukan sekadar suara masyarakat sipil. Ini suara iman, suara bumi, dan suara keadilan yang menuntut tindakan nyata,” kata Hening.
"Demi keadilan antargenerasi, martabat masyarakat adat, dan kesetiaan kita pada ajaran suci tiap agama, kami menyerukan: Cabut seluruh IUP yang merusak pulau kecil. Lindungi bumi, hormati iman, dan pulihkan masa depan," ujarnya.
Berhasil Login.....
Gagal Login
Komentar
Edit Komentar
Hapus Komentar
Anda yakin ingin menghapus komentar ?