Tutup Izin Perusahaan Tambang di Raja Ampat, Anggota DPR: Jangan Jadi Manuver Sesaat

13 Jun 2025

IVOOX.id – Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam, mengingatkan pemerintah untuk segera mengevaluasi sistem penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dinilai membuka celah pelanggaran hukum dan perusakan lingkungan, sebagaimana yang terjadi di Raja Ampat. Menurutnya, kasus di Raja Ampat harus dijadikan pelajaran agar kebijakan tambang tidak dilakukan secara serampangan.

“Kejadian di Raja Ampat ini seharusnya menjadi peringatan keras. Jangan sampai pemerintah bertindak seperti makelar tambang,” tegas Mufti dalam rilis medianya, Kamis (12/6/2025), dalam keterangan resmi yang diterima ivoox.id Kamis (12/6/2025).

Raja Ampat, jelasnya, adalah kawasan yang menyimpan mega-keanekaragaman hayati kelas dunia, rumah bagi ratusan spesies flora dan fauna langka dan endemik. Jika aktivitas pertambangan tetap dibiarkan, maka yang terancam bukan hanya alam, tetapi juga eksistensi bangsa. “Yang digali bukan cuma tambang, tapi harga diri kita. Raja Ampat bukan untuk ditambang, tapi untuk dijaga,” katanya.

Mufti mengingatkan bahwa tambang di pulau-pulau kecil seperti di Raja Ampat melanggar hukum. Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 jo UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang secara tegas melarang aktivitas pertambangan di pulau kecil dengan luas di bawah 2.000 km².

Kekhawatiran Mufti juga mengarah pada kejanggalan proses penerbitan izin tambang di wilayah konservasi yang mayoritas masuk kawasan Raja Ampat. “Aneh kalau izin tambang bisa keluar di wilayah konservasi dan destinasi wisata seperti Pulau Piaynemo. Ini pusat pariwisata dunia, bukan zona industri ekstraktif,” ujarnya.

Ia juga menyoroti Peraturan Daerah Kabupaten Raja Ampat Nomor 3 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang justru menetapkan beberapa pulau kecil sebagai kawasan pertambangan. “Ini bertentangan langsung dengan undang-undang. Aneh kalau perda bisa melangkahi hukum nasional,” ujarnya.

Lebih jauh, Mufti mengecam sejumlah pejabat yang justru tampak membela aktivitas tambang, dan mengabaikan suara masyarakat asli Papua yang menolak. “Respons dari sebagian pejabat justru menunjukkan ketidakpekaan terhadap aspirasi rakyat. Ini sangat berbahaya.” Katanya.

Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu menegaskan bahwa Raja Ampat adalah kawasan konservasi dan pariwisata internasional, bukan tempat untuk praktik industri ekstraktif. “Sudah cukup hutan habis, laut rusak, masyarakat adat digusur. Kita tidak boleh terus menggadaikan alam sebagai modal eksploitasi.” Ujarnya.

Di akhir pernyataannya, Mufti meminta pemerintah bertindak tegas terhadap IUP bermasalah. Ini, menurutnya, bukan sekadar soal administrasi, melainkan soal moral dan integritas hukum.

“Kalau negara ini masih waras, maka tambang bermasalah di Raja Ampat seharusnya sudah ditutup. Lindungi Raja Ampat, bukan rusak. Dengarkan suara rakyat, bukan hanya suara pemilik modal. Jangan jual surga dunia kita demi keuntungan jangka pendek yang membawa derita panjang,” katanya.

Komentar

Berhasil Login.....

Gagal Login

Back to Top

Komentar berhasil di tambah

Komentar berhasil di Edit

Komentar berhasil di Dihapus

Anda Harus Login

Tidak Boleh Kosong