INDEF Ingatkan Dampak Lanjutan Konflik Israel dan Iran Berpotensi Mengganggu Stabilitas Ekonomi di Bidang Energi, Perdagangan, Hingga Fiskal
IVOOX.id – Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus, mengingatkan bahwa Indonesia perlu bersiap menghadapi dampak lanjutan dari eskalasi konflik antara Israel dan Iran. Meskipun Indonesia tidak terdampak langsung secara geografis, perang tersebut berpotensi memicu ketidakstabilan ekonomi global, termasuk pada sektor energi, perdagangan, hingga fiskal nasional.
"Meskipun tidak berakibat secara langsung, bentrok tersebut berpotensi memicu ketidakstabilan ekonomi global, termasuk sektor energi, perdagangan, hingga fiskal nasional," ujar Ahmad dalam diskusi publik INDEF bertajuk Dampak Perang Iran-Israel terhadap Perekonomian Indonesia yang digelar di Jakarta, Minggu.
Ia menekankan bahwa Iran merupakan salah satu negara dengan cadangan minyak terbesar ketiga di dunia. Gangguan terhadap pasokan minyak dari Iran, apalagi jika jalur perdagangan strategis seperti Selat Hormuz turut ditutup, akan menyebabkan lonjakan drastis harga minyak global. Menurutnya, negara-negara pengimpor minyak seperti Jepang dan Eropa akan terkena dampaknya lebih dahulu dibandingkan Indonesia.
“Kira-kira negara-negara pengimpor minyak seperti Jepang, apalagi Eropa tentunya mengalami kenaikan biaya energi. Kalau kita lihat, (ekspor minyak) Timur Tengah itu lebih besar ke China, India, Eropa, maka negara-negara itu yang tentunya terkena akibat lebih dulu daripada Indonesia,” kata Ahmad.
Ahmad mengatakan bahwa kawasan Timur Tengah memiliki posisi strategis sebagai jalur utama perdagangan global, terutama dalam distribusi barang dari Asia menuju Eropa.
“Kalau Selat Hormuz terganggu, ekspor Indonesia ke Timur Tengah dan Eropa bisa terdampak langsung. Logistik jadi mahal, dan pasokan pun terhambat,” ujar Heri.
Meski porsi ekspor Indonesia ke Timur Tengah hanya sekitar 4,6 persen dari total ekspor nasional, Heri menilai kawasan tersebut merupakan simpul penting perdagangan yang menghubungkan tiga benua: Asia, Eropa, dan Afrika. Karena itu, gangguan di wilayah ini bisa memberi efek domino pada rantai logistik global.
Ekspor Indonesia ke Eropa pun ikut berpotensi terganggu, terutama karena ketergantungan pada jalur laut yang melewati wilayah konflik. Jika biaya pengiriman meningkat tajam akibat risiko keamanan dan lonjakan asuransi logistik, daya saing produk ekspor nasional akan terdampak, khususnya dari sektor manufaktur dan makanan olahan.
Berdasarkan simulasi menggunakan model Global Trade Analysis Project (GTAP), Ahmad memproyeksikan bahwa konflik Iran-Israel berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,005 persen. Meski angka tersebut tampak kecil, efek tidak langsungnya dapat membesar apabila negara mitra dagang utama seperti China dan Jepang ikut terdampak. Ia mencatat bahwa China diperkirakan akan mengalami perlambatan ekonomi sebesar 0,037 persen dan Jepang 0,048 persen.
Dampak lain yang perlu diwaspadai adalah penurunan volume impor pada sejumlah komoditas penting, seperti hasil pertanian, pangan olahan, logam, tekstil, hingga produk petrokimia dan industri berat. Kenaikan harga energi global pun diprediksi bakal mengerek biaya input produksi di dalam negeri, yang pada akhirnya dapat menurunkan daya saing ekspor Indonesia.
Dalam kondisi seperti ini, Ahmad mendorong pemerintah untuk segera mengambil langkah antisipatif jangka pendek. Prioritas pertama adalah menjaga stabilitas harga bahan bakar minyak (BBM) dan elpiji (LPG) di dalam negeri. Menurutnya, mekanisme subsidi harus diperkuat agar daya beli masyarakat tetap terjaga dan inflasi bisa dikendalikan.
“Kemudian kita juga mampu melakukan diversifikasi sumber impor energi. Jadi, kita mengalihkan impor minyak dari negara-negara yang bentrok ke yang non-konflik. Oleh lantaran itu, perlu ada percepatan dalam perihal kerja sama daya di negara-negara seperti ASEAN, Australia, alias yang lainnya. Jadi, mungkin ada kerja sama bilateral secara unik dalam perihal perdagangan energi," ujarnya.
Ahmad juga menilai pentingnya upaya untuk memperluas dan mendiversifikasi rantai pasok industri. Ia menekankan perlunya industri mencari mitra baru dalam penyediaan bahan baku agar tidak terlalu tergantung pada satu kawasan saja. Menurutnya, ini bisa dilakukan dengan mencari sumber bahan baku alternatif dari negara lain serta mendorong investasi di sektor industri hulu dalam negeri.
“Jadi, tidak dari negara itu-itu terus, tetapi juga mampu didiversifikasi ke negara-negara lainnya untuk mencari sumber bahan baku. Kemudian juga tentunya yang mesti melangkah adalah mendorong investasi dari sisi industri hulunya, misalnya pupuk, bahan bakar alternatif, serta peralatan antara alias barang intermediate sebagai bahan baku untuk industri-industri pengolahan di Indonesia,” kata Ahmad.
Perdagangan Indonesia dengan Israel dan Iran Masih Surplus
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, menyampaikan bahwa neraca perdagangan Indonesia dengan Israel masih mencatatkan surplus sebesar 40 juta Dolar AS. Hal ini disampaikan dalam diskusi virtual bertema Dampak Perang Iran-Israel Terhadap Perekonomian Indonesia, yang digelar pada Minggu, (29/6/2025).
“Dengan Israel kita surplus 40 juta Dolar AS. Ekspor kita berbentuk vegetable animal, alat-alat elektronik, dan alas kaki hingga cokelat itu menjadi yang utama ke Israel,” ujar Tauhid.
Meskipun volume perdagangannya tergolong kecil, Tauhid menyebut bahwa Indonesia memiliki ketergantungan terhadap Israel dalam beberapa komoditas tertentu, terutama alat-alat elektronik dan bahan farmasi. Meski demikian, kontribusi perdagangan dari sektor ini terhadap keseluruhan neraca ekspor-impor Indonesia masih sangat kecil, yaitu hanya sekitar 0,07 persen.
Sementara itu, hubungan dagang dengan Iran menunjukkan angka surplus yang lebih besar lagi. “Bagaimana dengan Iran ke kita? Itu jauh lebih baik, kita surplus lebih besar daripada Israel 195 juta Dolar AS,” katanya.
Produk-produk impor dari Iran didominasi oleh alat-alat reaktor nuklir, mesin, dan barang industri lainnya. Namun, baik hubungan dagang dengan Iran maupun Israel dinilai belum memiliki dampak signifikan terhadap stabilitas ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
Melihat data ekspor-impor tersebut, Tauhid menilai bahwa eskalasi konflik antara Iran dan Israel tidak akan memberi pengaruh besar secara langsung terhadap perekonomian Indonesia. “Gangguan langsung, terutama untuk produk-produk industri masih relatif kecil. Ini cukup baik,” katanya.
Berhasil Login.....
Gagal Login
Komentar
Edit Komentar
Hapus Komentar
Anda yakin ingin menghapus komentar ?