Kementerian HAM Tawarkan Opsi Penyelesaian Dugaan Pelanggaran HAM Terhadap Mantan Pemain Sirkus OCI

08 May 2025

IVOOX.id – Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM, Munafrizal Manan, memaparkan bahwa Kementerian Hak Asasi Manusia mempertimbangkan lima pendekatan dalam menangani kasus dugaan pelanggaran HAM yang dialami oleh para mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI). Menurutnya, pendekatan multidimensi penting dilakukan mengingat kompleksitas persoalan serta panjangnya rentang waktu kejadian.

Dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta Selatan pada Rabu, (7/5/2025), Munafrizal menyatakan bahwa salah satu pendekatan yang dipertimbangkan adalah melalui kerangka pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

Ia menilai bahwa terdapat dugaan adanya tindakan sistematis dan meluas yang melibatkan struktur organisasi. “Namun demikian, langkah alternatif melalui Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu memiliki sejumlah tantangan,” kata Munafrizal.

Ia menjelaskan bahwa untuk dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat, harus dibuktikan adanya serangan sistematis atau meluas, yang harus diselidiki oleh Komnas HAM, kemudian disidik oleh Jaksa Agung, dan memerlukan persetujuan DPR untuk pembentukan pengadilan HAM ad hoc.

“Dalam konteks itu, pengakuan yang disampaikan oleh para mantan pemain sirkus OCI tentang berbagai bentuk tindak kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya perlu dilakukan uji pembuktian oleh Penyelidik Komnas HAM dalam kerangka dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu,” ujarnya.

Selain itu, Munafrizal menyebut bahwa penyelesaian juga bisa dilakukan melalui jalur pidana umum. Ia menilai, dari pengakuan mantan pemain sirkus OCI, terdapat indikasi kuat adanya tindak pidana seperti eksploitasi anak, penyiksaan, perdagangan orang, dan pemisahan dari keluarga yang menyebabkan hilangnya identitas.

“Jika ditinjau dari ketentuan KUHP, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, serta Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, maka peristiwa-peristiwa yang dialami para mantan pemain sirkus OCI pada masa mereka masih anak-anak berpotensi dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana yang berat dan serius,” katanya.

Kendati begitu, ia mengakui adanya kendala hukum seperti soal daluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 78 KUHP. Meski demikian, ia menegaskan bahwa penyelidikan tetap bisa dibuka kembali jika ditemukan bukti baru atau novum. “Langkah ini bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan memenuhi hak atas keadilan bagi para korban, sekaligus memberikan pesan bahwa negara tidak membiarkan praktik pelanggaran hak asasi manusia yang serius berlalu tanpa pertanggungjawaban,” ujarnya.

Jalur hukum keperdataan juga menjadi opsi yang diajukan. Munafrizal memaparkan bahwa pendekatan ini fokus pada ganti rugi dan pengakuan atas kerugian non-material, serta rekonstruksi hubungan hukum antara pihak-pihak yang terlibat. Namun, ia mengingatkan bahwa pembuktian menjadi tantangan utama.

 “Ketiadaan dokumen kontraktual yang menjelaskan relasi antara anak-anak dan pihak sirkus, keterbatasan rekam jejak administratif, serta telah berubahnya status hukum para pihak, menjadikan proses pembuktian dalam gugatan perdata menghadapi hambatan yang signifikan,” katanya.

Ia menambahkan, keberhasilan gugatan sangat bergantung pada kemampuan korban atau kuasa hukum mereka dalam menyusun argumen hukum yang kuat dan menyertakan bukti-bukti yang mendukung klaim kerugian.

Di luar jalur hukum formal, Munafrizal juga mengusulkan pendekatan keadilan restoratif. Ia menilai pendekatan ini penting untuk menangani dampak kerugian yang bersifat kompleks dan telah berlangsung lama.

“Keadilan restoratif dalam hal ini dapat membuka ruang bagi pengakuan kebenaran, permintaan maaf, pemberian kompensasi atau bentuk pemulihan lainnya, serta rekonsiliasi secara bermartabat antara para pihak,” ujarnya.

Namun, ia menekankan bahwa pendekatan ini membutuhkan kesediaan semua pihak untuk terlibat dalam dialog terbuka dan menunjukkan iktikad baik. Ia juga mengingatkan bahwa dalam kerangka normatif, pendekatan keadilan restoratif belum sepenuhnya terakomodasi dalam perkara pidana berat.

Terakhir, Munafrizal menyebutkan opsi mediasi sebagai jalan penyelesaian yang bersifat partisipatif dan mengedepankan mufakat. Ia menyatakan bahwa mediasi bisa menjadi instrumen yang adaptif untuk merespons pengaduan para mantan pemain sirkus OCI.

“Mediasi dapat diformulasikan bukan sebagai bentuk penyelesaian pelanggaran terhadap anak semata, melainkan sebagai upaya rekognisi terhadap kerugian historis yang masih membekas hingga kini,” ujarnya.

Meskipun demikian, ia mengingatkan bahwa mediasi memiliki tantangan tersendiri, terutama soal ketimpangan posisi antara pihak-pihak yang terlibat serta bergantung sepenuhnya pada kesukarelaan semua pihak dalam menjalani proses dan menerima hasil kesepakatan.

Komentar

Berhasil Login.....

Gagal Login

Back to Top

Komentar berhasil di tambah

Komentar berhasil di Edit

Komentar berhasil di Dihapus

Anda Harus Login

Tidak Boleh Kosong