Psikolog Forensik: Fokus pada Kasus Kekerasan Seksual Dokter PPDS Unpad, Bukan Kelainan Seksual
IVOOX.id – Kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Priguna Anugerah Pratama (31 tahun) dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Padjadjaran (Unpad) di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung terus menuai perhatian publik. Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel, menilai bahwa pendekatan aparat penegak hukum dalam menangani kasus ini justru berpotensi melenceng dari substansi utama perkara yakni kekerasan seksual tanpa persetujuan korban.
Reza mengkritisi narasi yang berkembang di publik, termasuk kemungkinan adanya gangguan seksual seperti somnofilia yang disematkan pada pelaku. Menurutnya, dugaan semacam itu justru bisa membuka peluang untuk meringankan hukuman pelaku, padahal seharusnya hukum fokus pada unsur kekerasannya.
“Coba tanya ke P: pada momen apa dia pertama kali tertarik secara seksual pada target? Dia pertama kali bernafsu pada target ketika target sedang melakukan apa?” ujar Reza dalam pernyataan yang diterima ivoox.id Minggu (13/4/2025), menyinggung bahwa kunci dari kejahatan ini adalah niat dan tindakan kekerasan yang dilakukan secara sadar oleh pelaku.
Somnofilia, kata Reza, adalah kelainan seksual di mana pelaku merasa terangsang oleh orang yang berada dalam keadaan tidak sadar. Ia menjelaskan, “Somnofilia mirip dengan nekrofilia, yakni keterangsangan seksual pada manusia yang tengah berada dalam kondisi pasif atau tidak sadar. Nekrofilia, pada mayat. Somnofilia, pada orang bernyawa,” ujarnya.
Namun, menurut Reza, alur tindakan Priguna menunjukkan bahwa ia sebenarnya tidak tergolong pengidap somnofilia. Dari pemberitaan yang beredar, pelaku diduga menggunakan bius untuk membuat korban kehilangan kesadaran sebelum melakukan aksi bejatnya. Artinya, keterangsangan pelaku terjadi saat korban masih sadar.
“Alur perilaku sedemikian rupa menunjukkan bahwa P sudah mengincar target, artinya sudah mengalami keterangsangan seksual ketika si target berada dalam keadaan sadar. Dengan kata lain, keterangsangan seksual P mirip dengan orang kebanyakan,” kata Reza.
Ia menegaskan bahwa kondisi pasif korban bukanlah pemicu gairah pelaku, melainkan situasi yang secara sengaja diciptakan melalui kekerasan agar korban tak bisa melawan. “Menggunakan kekerasan agar target bisa disetubuhi tanpa perlawanan, itu modus biasa dalam perkosaan,” ujarnya lagi.
Reza juga mempertanyakan mengapa kepolisian justru terlihat fokus pada kemungkinan kelainan seksual pelaku ketimbang pada fakta kejahatan yang dilakukan secara brutal dan tanpa consent. Ia mengingatkan bahwa Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) secara tegas mengategorikan tindakan seperti ini sebagai kejahatan serius.
“Polisi, selaku otoritas penegakan hukum, seharusnya berkonsentrasi pada, satu, tidak adanya persetujuan dari orang-orang yang P setubuhi, dan, dua, pada penggunaan kekerasan yang P jadikan sebagai modusnya. Di situlah letak kerja hukumnya,” ujar Reza.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa pendekatan yang terlalu menekankan pada aspek kejiwaan pelaku dapat menjebak dalam sudut pandang rehabilitatif yang berpotensi melemahkan tuntutan hukum. “Alih-alih retributif, polisi justru seolah memakai cara pandang rehabilitatif. Bahwa, pelaku berbuat jahat akibat pengaruh kelainan yang ia idap. Padahal, andai kelainan seksual itu benar-benar ada, bukan polisi melainkan penasehat hukum tersangka yang punya kepentingan membangun narasi itu,” ujarnya.
Reza menilai, terlibatnya perspektif non-hukum seperti psikiatri memang penting dalam penegakan hukum, namun dalam kasus ini justru bisa menjadi bumerang. Ia menilai penyebutan somnofilia secara prematur dalam kasus Priguna malah berpotensi mengaburkan inti persoalan, yakni kejahatan kekerasan seksual yang dilakukan secara sadar.
“Cara itu salah kaprah bisa kontraproduktif atau bertentangan dengan ekspektasi publik bahwa pelaku mesti dihukum seberat-beratnya jika ia divonis bersalah,” katanya.
Berhasil Login.....
Gagal Login
Komentar
Edit Komentar
Hapus Komentar
Anda yakin ingin menghapus komentar ?