Tanggapi Soal Simpati Prabowo pada Keluarga Koruptor, ICW: Memperlihatkan Pemakluman Terhadap Korupsi

12 Apr 2025

IVOOX.id – Pernyataan Presiden Prabowo Subianto soal simpati terhadap keluarga koruptor memicu kritik tajam dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Menurut ICW, pernyataan itu tidak hanya menunjukkan kurangnya ketegasan Presiden dalam memerangi korupsi, tetapi juga berpotensi menormalisasi keterlibatan keluarga dalam praktik pencucian uang dan tindak pidana korupsi.

Pernyataan Prabowo itu disampaikan dalam wawancara eksklusif bersama enam pemimpin redaksi media di Hambalang pada 6 April 2025 lalu. Dalam wawancaranya, Prabowo mengaku merasa simpati terhadap anggota keluarga koruptor yang ikut terdampak penyitaan aset oleh negara. Pernyataan itu, menurut ICW, sangat bermasalah.

“Respons Prabowo ini memperlihatkan pemakluman terhadap korupsi. Padahal, dalam banyak kasus, keluarga tidak hanya mengetahui, tetapi juga aktif terlibat dalam menyembunyikan atau menikmati hasil kejahatan tersebut,” kata peneliti ICW, Wana Alamsyah dalam siaran persnya, Jumat (11/4/2025).

ICW juga menggarisbawahi bahwa pernyataan simpati Prabowo datang di saat pembahasan RUU Perampasan Aset—yang sudah lama digagas sebagai instrumen untuk memiskinkan koruptor—masih mandek. Padahal, koalisi pendukung Prabowo di DPR memiliki kekuatan mayoritas dengan lebih dari 80 persen kursi, yang secara teknis memudahkan proses pengesahan jika ada kemauan politik.

“Kalau memang serius mau memiskinkan koruptor dan memberi efek jera, seharusnya RUU Perampasan Aset menjadi prioritas dalam Prolegnas 2025. Tapi kenyataannya, RUU itu justru tak dimasukkan,” ujar Wana.

Lambatnya pembahasan RUU itu, menurut ICW, memberikan celah bagi para koruptor untuk mengamankan aset hasil kejahatannya. Dalam praktiknya, salah satu modus yang kerap digunakan adalah menyamarkan aset melalui keluarga. Berdasarkan pemantauan ICW terhadap tren kasus korupsi sejak 2015 hingga 2023, setidaknya ada 46 kasus yang melibatkan anggota keluarga pelaku. Dari kasus tersebut, 87 orang telah ditetapkan sebagai tersangka, dan 44 persen di antaranya merupakan keluarga langsung dari pelaku utama.

“Dalam banyak kasus, keluarga menjadi bagian aktif dari kejahatan itu. Mereka bukan hanya ‘ikut terdampak’, tapi juga ikut menikmati dan menyembunyikan hasil korupsi,” kata Wana.

Salah satu bentuk keterlibatan keluarga adalah melalui tindak pidana pencucian uang. Namun sayangnya, penggunaan Undang-Undang TPPU Nomor 8 Tahun 2010 belum optimal. Dari 46 kasus yang melibatkan keluarga, hanya empat kasus yang diproses menggunakan UU TPPU.

ICW menilai bahwa simpati Prabowo tersebut mengabaikan realitas bahwa justru masyarakat luas adalah korban utama korupsi. “Yang lebih layak mendapat simpati adalah rakyat, bukan keluarga koruptor,” ujar Wana.

Data tren vonis yang dihimpun ICW pada 2019–2023 menunjukkan betapa lemahnya efek jera yang dihasilkan dari proses hukum. Dari total kerugian negara akibat korupsi yang mencapai Rp234,8 triliun, rata-rata uang pengganti yang berhasil dikembalikan ke kas negara hanya sebesar 13 persen.

“Jelas, sistem hukum kita belum memberikan tekanan yang cukup terhadap koruptor. Bahkan kita gagal memulihkan kerugian negara, apalagi kerugian sosial masyarakat akibat rusaknya layanan publik karena korupsi,” ujarnya.

ICW pun mendesak agar Presiden Prabowo tidak hanya berhenti pada retorika, melainkan segera mengambil langkah konkret, yakni mendorong percepatan pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset.

“Jika Presiden tidak segera memperjelas sikapnya dalam upaya pemberantasan korupsi, maka yang terjadi bukan kemajuan, melainkan kemunduran serius dalam agenda antikorupsi nasional,” katanya.

Komentar

Berhasil Login.....

Gagal Login

Back to Top

Komentar berhasil di tambah

Komentar berhasil di Edit

Komentar berhasil di Dihapus

Anda Harus Login

Tidak Boleh Kosong