Zarof Ricar Didakwa Terima Rp 915 Miliar dan 51 Kilogram Emas Selama Sepuluh Tahun di Mahkamah Agung

10 Feb 2025

IVOOX.id – Mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar didakwa menerima gratifikasi berupa uang tunai senilai Rp915 miliar dan logam mulia emas seberat 51 kilogram selama menjabat di MA pada periode 2012-2022.

Jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) Nurachman Adikusumo mengungkapkan bahwa gratifikasi diterima dari para pihak yang memiliki perkara di lingkungan pengadilan, baik di tingkat pertama, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali.

"Perbuatan Zarof dianggap pemberian suap yang berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, yaitu berhubungan dengan jabatan terdakwa dan berlawanan dengan kewajiban terdakwa," ucap JPU dalam sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (10/2/2025), dikutip dari Antara.

JPU memerinci gratifikasi yang diterima Zarof berupa uang pecahan 1.000 dolar Singapura senilai 71,07 juta dolar Singapura; uang pecahan Rp100 ribu dan Rp50 ribu sebanyak Rp5,67 miliar; uang pecahan 100 dolar Amerika Serikat (AS) senilai 1,39 juta dolar AS; serta uang pecahan 1.000 dolar Singapura, 100 dolar Singapura, dan 50 dolar Singapura senilai 316.450 dolar Singapura.

Selain itu, uang pecahan 500 euro, 200 euro, dan 100 euro senilai 46.200 euro; uang pecahan 1.000 dolar Hong Kong dan 500 dolar Hong Kong senilai 267.500 dolar Hong Kong; serta logam mulia jenis emas Fine Gold 999.9 kepingan 100 gram dan jenis emas Antam Kepingan 100 gram seberat 46,9 kg.

Selain itu, ditemukan pula 14 buah amplop cokelat dan putih berisikan uang pecahan mata uang asing dan rupiah, uang pecahan mata asing dan rupiah lainnya, dompet berisi logam mulia emas lainnya, sertifikat berlian, serta kuitansi toko emas mulia.

JPU menjelaskan selama periode 2012-2022, Zarof menempati jabatan yang memudahkan yang bersangkutan untuk memiliki akses bertemu dan mengenal ke berbagai lingkup pejabat hakim agung di lingkungan MA.

Pada tahun 2012, Zarof menjabat sebagai Direktur Pranata dan Tata Laksana Perkara Pidana Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum MA. Pada tahun 2014, Zarof menjabat sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum MA.

Mulai 2017 hingga 2022, Zarof menjabat sebagai Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, Pendidikan, dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA.

Pada jabatan terakhir tersebut, JPU menyampaikan Zarof juga merupakan widyaiswara yang mengajar di lingkungan hakim sehingga memiliki akses untuk bertemu dan mengenal berbagai kalangan hakim di tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi, maupun MA.

"Dari sini, terdakwa memfasilitasi pihak yang sedang berperkara dengan maksud supaya memengaruhi hakim dalam menjatuhkan putusan, sesuai dengan permintaan para pihak berperkara sehingga terdakwa menerima pemberian suap," ungkap JPU.

Adapun penemuan kasus gratifikasi Zarof selama menjabat di MA berawal dari pengungkapan kasus dugaan suap perkara terpidana pembunuhan, Ronald Tannur, di tingkat kasasi.

Dalam kasus itu, Zarof didakwa melakukan pemufakatan jahat berupa perbantuan untuk memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim MA berupa uang senilai Rp5 miliar.

Suap bertujuan untuk memengaruhi putusan perkara agar hakim menjatuhkan putusan kasasi yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Nomor 454/Pid.B/2024/PN.Sby tanggal 24 Juli 2024.

Atas perbuatannya, Zarof disangkakan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 12 B juncto Pasal 15 jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

Ibunda terpidana pembunuhan Ronald Tannur, Meirizka Widjaja Tannur dalam sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (10/2/2025). (ANTARA/Agatha Olivia Victoria)

Ibunda terpidana pembunuhan Ronald Tannur, Meirizka Widjaja Tannur dalam sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (10/2/2025). (ANTARA/Agatha Olivia Victoria)

Ibunda Ronald Tannur Didakwa Suap Tiga Hakim PN Surabaya Rp 4,67 Miliar

Sementara ibunda terpidana pembunuhan Ronald Tannur, Meirizka Widjaja Tannur, didakwa memberikan suap kepada tiga hakim di Pengadilan Negeri Surabaya sebesar Rp 4,67 miliar untuk memberikan "vonis bebas" pada kasus anaknya.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung Nurachman Adikusumo mengungkapkan uang tunai keseluruhan yang diberikan meliputi Rp1 miliar dan 308 ribu dolar Singapura atau setara dengan Rp3,67 miliar (kurs Rp11.900).

"Suap diberikan kepada Hakim Ketua Erintuah Damanik beserta hakim anggota Mangapul dan Heru Hanindyo," ucap JPU pada sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (10/2/2025), dikutip dari Antara.

Atas perbuatannya, Meirizka terancam pidana dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf a juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.

JPU memerinci Meirizka bersama penasihat hukum Ronald Tannur, Lisa Rachmat, memberikan uang tunai senilai Rp 1 miliar dan 120 ribu dolar Singapura atau Rp 1,43 miliar kepada Heru, 140 ribu dolar Singapura atau Rp 1,66 miliar kepada tiga hakim, serta 48 ribu dolar Singapura atau Rp 571,2 juta kepada Erintuah.

Lebih terinci uang tunai sebesar 140 ribu dolar Singapura yang dibagi-bagi untuk ketiga hakim terdiri atas Erintuah sebesar 38 ribu dolar Singapura atau Rp 452,2 juta, Mangapul senilai 36 ribu dolar Singapura atau Rp 428,4 juta, Heru sebanyak 36 ribu dolar Singapura atau Rp 428,4 juta, dan sisanya sebesar 30 ribu dolar Singapura atau Rp357 juta disimpan oleh Erintuah.

JPU menjelaskan perbuatan Meirizka berawal dari saat Meirizka meminta Lisa untuk menjadi penasihat hukum Ronald Tannur. Keduanya kemudian bertemu dan Lisa meminta agar Meirizka menyiapkan sejumlah uang untuk pengurusan perkara Ronald Tannur.

Sementara penasihat hukum terpidana pembunuhan Ronald Tannur, Lisa Rachmat, didakwa memberikan suap kepada hakim di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya senilai Rp1 miliar dan 308 ribu dolar Singapura serta Mahkamah Agung (MA) sebesar Rp 5 miliar.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) Parade Hutasoit menyebutkan suap dilakukan untuk mengondisikan perkara Ronald Tannur, baik di tingkat pertama maupun kasasi.

"Supaya majelis hakim di tingkat pertama menjatuhkan putusan bebas Ronald Tannur dan di tingkat kasasi memperkuat putusan bebas itu," ungkap JPU dalam sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.

Atas perbuatannya, Lisa terancam pidana pada Pasal 6 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf a juncto Pasal 18 dan Pasal 15 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.

Komentar

Berhasil Login.....

Gagal Login

Back to Top

Komentar berhasil di tambah

Komentar berhasil di Edit

Komentar berhasil di Dihapus

Anda Harus Login

Tidak Boleh Kosong